Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

PTDH-kan Jaringan Sindikat Pelanggar HAM Berat di Tubuh Internal Kepolisian: Kasus Ishak Hamzah Bongkar Luka Presisi di Polda Sulsel

Rabu, 22 Oktober 2025 | Rabu, Oktober 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-22T00:01:32Z



CNEWS, Makassar — Di tengah sorotan publik terhadap semangat Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) yang dikampanyekan Kapolri, kenyataan di lapangan justru menampilkan paradoks yang mencolok. Kasus yang menimpa Ishak Hamzah, warga Kota Makassar, menjadi potret buram bagaimana konsep Presisi bisa kehilangan makna di tangan aparat yang seharusnya menegakkan keadilan.


Ishak Hamzah, warga sederhana yang hanya ingin mempertahankan hak atas tanah warisan keluarganya, justru dijerat pasal pidana dan ditahan selama 58 hari di Rumah Tahanan Polrestabes Makassar. Ia dituduh melakukan penyerobotan lahan sebagaimana laporan polisi Nomor LP/790/XII/2021/SPKT/Restabes Makassar, tertanggal 17 Desember 2021, dengan sangkaan Pasal 167 KUHP. Anehnya, setelah melapor ke Propam atas dugaan pelanggaran prosedur, penyidik justru menambahkan Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsuan dokumen.


“Saya hanya mempertahankan tanah keluarga. Tapi saya dituduh menyerobot lahan sendiri, dipenjara dua bulan, dan difitnah memalsukan dokumen. Ini bukan penegakan hukum, tapi penindasan terhadap rakyat kecil,” ujar Ishak dengan suara bergetar, Senin (20/10/2025).

 

Akar Persoalan: Sengketa Warisan yang Disulap Jadi Kriminalisasi

Perjuangan Ishak bukan baru terjadi. Konflik ini bermula sejak 2011, saat ia dan ayahnya, almarhum Hamzah Dg. Taba, menghadapi pihak-pihak berkepentingan yang berupaya menguasai lahan keluarga mereka di Kelurahan Barombong, Kota Makassar. Setelah sang ayah meninggal dunia, Ishak melanjutkan perjuangan itu seorang diri.


Menurutnya, laporan terhadap dirinya dilakukan oleh seorang perempuan berinisial Hj. WSR, yang menuduhnya menyerobot tanah. Namun, bukti yang dijadikan dasar oleh penyidik dinilai sangat lemah dan dipaksakan.


“Buku F yang dijadikan alat bukti itu hanyalah salinan tak utuh, tanpa jaminan keaslian dari pejabat kelurahan, kecamatan, atau Pemkot Makassar. Bagaimana mungkin salinan yang tak sah dijadikan dasar pemidanaan?” tegas Ishak.

 

Selain itu, alat bukti kedua berupa patok tanah dan pos penjagaan kayu justru merupakan milik keluarga Ishak sendiri, berdiri di atas tanah yang telah mereka kuasai secara turun-temurun. Ia juga memiliki dokumen pendukung seperti PBB atas nama Hamzah Dg. Taba, surat kewarisan dari Pengadilan Agama, sporadik penguasaan fisik, serta surat dari Direktorat Jenderal Pajak Pratama Nomor S–611/WPJ.15/KB.0107/2001.


Namun, bukti-bukti sah tersebut tidak pernah dijadikan pertimbangan oleh penyidik.


Dugaan Kriminalisasi dan Konspirasi Hukum

Setelah merasa diperlakukan tidak adil, Ishak dan kuasa hukumnya melaporkan penyidik ke Bidang Propam Polda Sulsel. Namun, laporan itu justru membuka babak baru: tambahan pasal pemalsuan dokumen tiba-tiba muncul usai pelaporan.


“Ini bentuk intimidasi balik terhadap pelapor. Kami menduga kuat ada jaringan kepentingan besar di balik kasus ini,” ujar Maria Monika Veronika Hayr, S.H., kuasa hukum Ishak.

 

Menurut Maria, pola ini klasik dalam praktik kriminalisasi hukum: ketika korban melapor, pasal baru ditambahkan agar korban takut dan bungkam.


“Pasal 263 ayat (2) muncul tanpa dasar. Ini indikasi nyata adanya penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran etik berat oleh oknum aparat,” tegasnya.

 

Laporan Propam yang Mandek dan Bayangan Pelanggaran HAM Berat


Maria menjelaskan, pihaknya sudah beberapa kali mendatangi Subdit Wabprof Polda Sulsel untuk menanyakan perkembangan hasil BAP tambahan setelah kliennya memenangkan praperadilan dan memperoleh SP3. Namun, tindak lanjutnya hingga kini belum jelas.


“Ada empat laporan hukum Ishak yang tidak pernah naik dari penyelidikan ke penyidikan. Bahkan ada laporan penganiayaan di Polres Pelabuhan Makassar tahun 2023 yang menguap begitu saja. Bukti video dan saksi sudah ada, tapi diam. Ini preseden buruk bagi citra kepolisian,” katanya.

 

Ia menegaskan bahwa kondisi ini menunjukkan sistem pengawasan internal Polri di Sulsel lemah dan tidak profesional.


“Kami mendesak agar diterapkan PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri yang terbukti melanggar kode etik. Jika terbukti melakukan kriminalisasi dan rekayasa hukum, tidak ada pilihan lain selain PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat),” ujar Maria dengan tegas.

 

“Presisi” di Atas Kertas, Tapi Mandul di Lapangan


Kasus Ishak Hamzah kini menjadi ujian moral dan integritas bagi Polri, khususnya Polda Sulsel.
Konsep Presisi yang diharapkan mampu membawa transparansi dan keadilan justru tampak lumpuh di hadapan dugaan praktik kotor dan konspirasi internal.


“Presisi itu indah di atas kertas, tapi mandul di lapangan,” ujar Ishak getir. “Kalau rakyat kecil seperti saya saja bisa dipenjara karena mempertahankan tanah sendiri, lalu di mana keadilan itu bisa dicari?”

 

Pihak WGAB Hukum dan Jaringan Advokat Sulsel yang mengikuti kasus ini menilai, indikasi pelanggaran HAM berat patut diselidiki oleh Divisi Propam Mabes Polri dan bahkan Komnas HAM RI, sebab telah terjadi penahanan sewenang-wenang, penyalahgunaan kekuasaan, serta dugaan persekongkolan antara penyidik dan pihak pelapor.


Harapan Baru: Hukum Harus Kembali ke Nurani

Meski menghadapi tekanan berat, Ishak Hamzah tidak menyerah. Ia tetap memperjuangkan haknya dan menolak tunduk pada ketidakadilan.


“Saya tidak minta belas kasihan, saya hanya ingin keadilan ditegakkan. Tanah ini simbol perjuangan keluarga saya. Kalau negara tidak bisa melindungi rakyat kecil, untuk siapa hukum itu dibuat?” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Kemenangan praperadilan yang ia menangkan menjadi bukti bahwa kebenaran masih bisa bersinar, meski di tengah gelapnya praktik hukum yang tidak manusiawi.
Kini, publik menanti: apakah Polri berani menegakkan hukum di tubuhnya sendiri dan menjatuhkan PTDH kepada oknum yang mencederai keadilan, atau justru membiarkan luka lama kepercayaan publik makin dalam.


Karena seperti kata Ishak:

“Hukum tanpa nurani hanyalah kekuasaan yang berwajah dingin. Dan Presisi tanpa keadilan hanyalah slogan yang kehilangan makna.”

( M.A/ RED) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update