Konflik Agraria Mengorbankan Warga Miskin, Arahan Presiden Prabowo soal Ketahanan Pangan Diabaikan?
CNews , JAKARTA | MUSI RAWAS —
Kasus penahanan Nenek Sumiyati (65 tahun) oleh Polres Musi Rawas, Sumatera Selatan, memicu kecaman publik dan aktivis agraria. Ia dituding mencuri sawit milik PT Murah Bibit Lestari (MBL), meski keluarga menegaskan buah sawit yang dipanen berasal dari lahan milik mereka sendiri — lahan yang sudah digarap puluhan tahun sebelum PT MBL berdiri.
Tragisnya, penangkapan tersebut melibatkan kekuatan berlebihan: sekitar 30 personel polisi bersenjata lengkap, ditambah 8 anggota TNI, hanya untuk menangkap seorang nenek renta di kebunnya sendiri.
Kronologi Penangkapan: Kekuasaan Menekan Rakyat Kecil
- Penangkapan: Nenek Sumiyati ditangkap di kebunnya sendiri tanpa perlawanan. Tidak ada surat peringatan atau mekanisme mediasi sebelumnya.
- Paksaan Pengakuan: Keluarga menyebut polisi memaksa Sumiyati mengakui perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.
- Bukti Kepemilikan: Keluarga menunjukkan bahwa lahan tersebut telah mereka kelola turun-temurun, jauh sebelum PT MBL membuka perkebunan sawit di wilayah itu.
- Saksi Keluarga: Beberapa saksi yang merupakan tetangga dan kerabat menguatkan klaim keluarga Sumiyati.
Cari Keadilan Hingga Jakarta: Mosi Tidak Percaya kepada Hukum Daerah
Merasa keadilan di Sumatera Selatan tertutup rapat, Rudi (anak Sumiyati) dan cucunya, Pahmi, datang ke Jakarta mengadu ke:
- Komnas HAM,
- Komisi Yudisial,
- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo,
- Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto,
- bahkan langsung meminta perhatian Presiden Prabowo Subianto.
Mereka menegaskan, tindakan represif aparat Polres Musi Rawas dan keterlibatan TNI justru bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo yang menginginkan polisi dan TNI hadir membantu rakyat membuka lahan demi ketahanan pangan, bukan malah menindas rakyat demi kepentingan korporasi.
Dugaan Konflik Kepentingan: Siapa di Balik PT MBL?
Keluarga menduga PT MBL memanfaatkan relasi kekuasaan untuk mengintimidasi warga lokal. Bukannya menegakkan hukum secara adil, aparat justru diduga berpihak pada kepentingan korporasi.
"Lahan ini milik keluarga kami sejak lama. Kenapa perusahaan baru datang, tiba-tiba mengklaim tanah orang tua kami? Dan aparat malah berpihak ke mereka?" ujar Rudi geram.
Tuntutan Keluarga:
- Bebaskan Nenek Sumiyati tanpa syarat.
- Proses hukum secara adil dan transparan, tanpa intervensi perusahaan.
- Tindak tegas aparat yang melakukan penahanan dan intimidasi di luar prosedur.
- Hentikan kriminalisasi terhadap petani kecil dan warga adat.
- Presiden dan Kapolri diminta mengevaluasi aparat daerah yang diduga menjadi alat korporasi.
Ketua OKK AKPERSI DPP: Negara Harus Hadir Melindungi Rakyat
Ketua OKK DPP AKPERSI, Thofilus Benyamin, menyebut kasus Nenek Sumiyati mencerminkan kegagalan negara melindungi warga kecil.
“Ini bukan sekadar sengketa tanah, ini soal keadilan sosial. Negara wajib berpihak kepada rakyat kecil, bukan jadi tameng korporasi rakus,” tegasnya.
Konflik Agraria Berulang: Bukti Reformasi Agraria Gagal di Tingkat Lokal
Kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia, di mana rakyat kecil kerap dikalahkan oleh modal besar dan aparat yang seharusnya netral.
“Kalau rakyat tidak lagi percaya pada hukum daerah, mau ke mana mereka mencari keadilan selain ke Jakarta?” ujar Pahmi lirih.
Kesimpulan:
Kasus Nenek Sumiyati bukan sekadar persoalan hukum pidana biasa, tapi cerminan konflik struktural antara rakyat kecil dan korporasi yang didukung kekuatan bersenjata. Jika negara terus membiarkan hal ini terjadi, cita-cita ketahanan pangan dan kesejahteraan petani hanya akan jadi ilusi.
TIM INVESTIGASI CNEWS
Berita ini terus dikembangkan. Hak jawab terbuka bagi Polres Musi Rawas, TNI, dan PT MBL. ✅ ( Tim Akpersi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar