Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

HMI MPO Konsel Desak Menteri ATR/BPN Copot Kepala BPN Konawe Selatan: Bongkar Pembiaran Perkebunan Ilegal dan Kegagalan Tata Kelola Agraria

Selasa, 08 Juli 2025 | Selasa, Juli 08, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-08T08:17:25Z


CNEWS , Kendari, 7 Juli 2025 — Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Cabang Konawe Selatan secara tegas menuntut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI untuk segera mencopot Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Konawe Selatan. Desakan itu disuarakan dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Wilayah BPN Sulawesi Tenggara, Kendari, sebagai respons atas dugaan pembiaran sistematis terhadap maraknya perkebunan ilegal yang beroperasi tanpa izin resmi di wilayah tersebut.


Aksi tersebut menjadi sorotan tajam, lantaran HMI MPO Konsel menilai aparat pertanahan justru gagal melindungi hak-hak masyarakat adat dan pemilik ulayat, serta membiarkan korporasi merampas tanah negara dan tanah rakyat.


“Kami membawa suara rakyat yang tanahnya dirampas tanpa perlindungan hukum. BPN seharusnya menjadi benteng terakhir kepastian agraria, bukan malah jadi institusi yang tutup mata terhadap kejahatan korporasi,” tegas Koordinator Lapangan HMI MPO Konsel dalam orasinya.

 

Bukan Hanya Kepala BPN Konawe Selatan, Kanwil ATR/BPN Sultra Juga Disorot


HMI MPO Konsel tak hanya menyoroti Kepala Kantor Pertanahan Konawe Selatan, tapi juga Kepala Kanwil ATR/BPN Sulawesi Tenggara yang dinilai lalai dalam pengawasan struktural.

 

“Jika Kanwil ATR/BPN Sultra tidak mampu membina dan mengawasi jajarannya, maka sama saja membiarkan kejahatan agraria tumbuh subur di bawah hidung negara sendiri,” kata salah satu orator.

 

Kinerja BPN Dinilai Lemah dan Akomodatif Terhadap Kepentingan Modal


Dalam naskah intelektual yang dibacakan saat aksi, HMI MPO Konsel menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional kini menghadapi krisis kepercayaan publik. Lembaga yang seharusnya menjaga kepastian hukum agraria justru dianggap lebih berpihak kepada modal daripada kepada rakyat.


“Ketika aparat pertanahan menjadi pelayan kekuatan modal, yang lahir adalah ketimpangan struktural dan penghancuran ruang hidup rakyat,” tegas mereka.

 

Menurut HMI MPO Konsel, banyak perusahaan perkebunan di Konawe Selatan — terutama di Kecamatan Angata — yang tetap beroperasi meski tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Fakta ini mencerminkan kegagalan tata kelola agraria yang seharusnya diawasi ketat oleh BPN.


Landasan Hukum yang Dilanggar: Negara Bisa Dituntut atas Pembiaran


HMI MPO Konsel menegaskan bahwa pembiaran aktivitas perkebunan tanpa izin adalah pelanggaran nyata terhadap berbagai regulasi nasional, antara lain:


  • Pasal 42 dan Pasal 105 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mewajibkan setiap usaha perkebunan memiliki izin resmi dan mengancam pelaku usaha ilegal dengan sanksi pidana.
  • UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang menegaskan bahwa pemanfaatan tanah harus berdasarkan hak yang sah.
  • PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menuntut kepastian hukum atas status tanah.


Mereka memperingatkan bahwa jika negara terus abai, potensi gugatan hukum atas kejahatan agraria ini bisa menyeret pejabat publik ke ranah pidana maupun perdata.


Ancaman Aksi Lebih Besar: Mosi Tidak Percaya Terhadap Kepala BPN Konawe Selatan


Di akhir aksi, HMI MPO Konsel menyatakan bahwa jika tuntutan mereka tidak segera ditindaklanjuti, maka aksi jilid II dengan skala massa yang lebih besar akan digelar. Mereka siap melibatkan simpul-simpul perlawanan rakyat, termasuk mahasiswa, masyarakat adat, dan organisasi prodemokrasi lainnya.


“Kalau pusat tidak serius, kami akan turun lebih besar. Kami tidak akan membiarkan tanah rakyat dijajah korporasi dengan perlindungan negara,” ancam Koordinator HMI MPO Konsel.

 

Aksi Berlangsung Damai, Tuntutan Diserahkan Resmi


Aksi berlangsung tertib dan damai. Massa aksi membacakan tuntutan secara terbuka, menyampaikan orasi intelektual, dan menyerahkan dokumen resmi tuntutan kepada pejabat Kanwil BPN Sulawesi Tenggara.

Catatan Redaksi:
Tuntutan pencopotan pejabat pertanahan ini bukan sekadar isu lokal, melainkan refleksi dari krisis tata kelola agraria nasional yang hingga kini masih gagal melindungi hak-hak rakyat dari ekspansi kekuatan modal. ( Tim IND) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update