CNews - Pondidaha, Konawe —
Praktik pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT ST Nikel Resources di wilayah Kecamatan Pondidaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menuai sorotan tajam. Perusahaan tersebut diduga melakukan aktivitas tambang ilegal (illegal mining) di atas lahan Ulayat masyarakat adat yang belum pernah dilepaskan secara sah.
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah Ulayat yang diwariskan secara turun-temurun, diperkuat dengan Surat Keterangan Penguasaan Wilayah Adat tertanggal 1987 yang ditandatangani oleh tokoh adat sekaligus kepala wilayah saat itu, almarhum Wuata Saranani.
“Kami tidak pernah menjual, melepas, atau menyetujui adanya aktivitas tambang. Tapi tiba-tiba ada alat berat dan sertifikat atas tanah kami,” ujar salah satu ahli waris lahan kepada CNews.
Dugaan Sertifikat Fiktif: Tak Ada Proses Pelepasan Ulayat
Kegiatan PT ST Nikel Resources diduga disokong oleh sertifikat hak milik (SHM) yang tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Warga menduga sertifikat tersebut diterbitkan tanpa melalui proses pelepasan hak Ulayat, tanpa bukti penguasaan riil, dan tanpa musyawarah adat, sebagaimana diatur dalam hukum agraria nasional.
“Ini mengarah pada dugaan mafia tanah. Ada indikasi penerbitan sertifikat fiktif yang digunakan untuk melegitimasi aktivitas pertambangan ilegal,” tegas salah satu tokoh adat setempat.
HMI MPO: Negara Jangan Bungkam Hadapi Kejahatan Agraria
Ketua HMI MPO Cabang Konawe Selatan, Indra Dapa Saranani, menilai aktivitas PT ST Nikel Resources sebagai bentuk kejahatan agraria dan pelanggaran konstitusi, karena merampas hak masyarakat adat dan mencederai prinsip-prinsip persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC).
“Ini bukan sekadar konflik lahan, tapi kejahatan pertambangan yang melanggar UU Minerba dan UUPA 1960. Negara wajib hadir. Kami akan kawal hingga ke pusat,” ujar Indra.
Ia menegaskan bahwa HMI MPO akan membawa persoalan ini ke ranah nasional, melibatkan Komnas HAM, ATR/BPN, dan aparat penegak hukum, serta mempertimbangkan pelaporan pidana terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam penerbitan sertifikat dan pemberian izin di atas tanah adat tanpa proses yang sah.
Dasar Hukum yang Dilanggar
Kasus ini mengandung pelanggaran serius terhadap sejumlah regulasi penting:
- Pasal 3 UUPA 1960: Menjamin keberad
- No aan dan perlindungan hak-hak Ulayat masyarakat hukum adat atas tanah.
- Pasal 134A UU No. 3 Tahun 2020 (Minerba): Mewajibkan perusahaan untuk mendapatkan persetujuan masyarakat adat sebelum beroperasi di wilayah adat.
Dalam kasus PT ST Nikel Resources, tidak ditemukan adanya musyawarah adat, tidak ada pelepasan hak yang sah, dan tidak ada kompensasi, sehingga kuat dugaan bahwa seluruh aktivitas tambang masuk dalam kategori ilegal dan melawan hukum.
Langkah Hukum dan Tuntutan Masyarakat
Masyarakat adat bersama HMI MPO Konawe Selatan kini tengah:
- Mempersiapkan laporan resmi ke Komnas HAM, ATR/BPN, dan Polri atas dugaan pelanggaran hukum agraria dan pertambangan;
- Menggugat ke PTUN untuk membatalkan sertifikat yang diduga fiktif dan cacat hukum;
- Menuntut penghentian total aktivitas pertambangan PT ST Nikel Resources di atas lahan adat Pondidaha;
- Mendesak Pemerintah Daerah Konawe dan Pemerintah Provinsi Sultra untuk mengklarifikasi dan mengevaluasi seluruh izin yang dikeluarkan.
Respons Ditunggu, Tapi Pemerintah Masih Bungkam
Hingga berita ini ditayangkan, manajemen PT ST Nikel Resources belum memberikan pernyataan resmi. Begitu pula dengan Pemerintah Kabupaten Konawe, yang hingga kini belum mengeluarkan klarifikasi publik terkait legalitas aktivitas pertambangan di wilayah adat Pondidaha. ( Ind)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar