CNews - Serdang Bedagai, Sumut — Anggaran Dana Desa (DD) tahun 2025 di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, kembali menuai sorotan tajam. Dari total 237 desa di 17 kecamatan, hingga pertengahan Juni 2025, distribusi dana masih belum merata. Sebagian desa mengaku sudah menerima anggaran, namun tak sedikit pula yang belum mengetahui kepastian pencairan. Ketiadaan informasi resmi dan minimnya transparansi membuat publik menduga adanya pengelolaan tertutup yang menyimpang dari prinsip akuntabilitas.
Informasi yang sebelumnya biasa dibagikan melalui grup WhatsApp resmi kepala desa kini mendadak dihentikan. “Dulu sebelum dana keluar kami selalu diberitahu. Sekarang sunyi. Tidak ada pemberitahuan apa-apa di grup,” ungkap seorang kepala desa yang meminta identitasnya dirahasiakan. Keheningan ini dinilai sebagai bentuk nyata pelanggaran terhadap prinsip Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008.
Dana Insentif Desa (DIDes): Rp138 Juta yang Tidak Jelas Arah dan Gunanya
Selain Dana Desa, publik juga mempertanyakan alokasi Dana Insentif Desa (DIDes) yang mencapai Rp138 juta. Dana ini seharusnya diberikan kepada desa-desa yang memenuhi kriteria peningkatan kinerja tata kelola, pelayanan dasar, dan pengembangan potensi lokal. Di Serdang Bedagai, DIDes dikabarkan dikucurkan ke sejumlah desa, khususnya di Kecamatan Dolok Masihul yang memiliki 27 desa
Namun dalam praktiknya, publik menduga alokasi tersebut hanya formalitas tanpa proses evaluasi yang objektif. Lebih parah lagi, tidak ada papan informasi, pengumuman resmi, atau laporan publik terkait penggunaan dana insentif tersebut.
“Warga tidak tahu DIDes itu untuk apa. Tiba-tiba kepala desa bisa renovasi kantor, beli mobil, atau jalan-jalan. Semua dilakukan diam-diam,” ujar seorang pemerhati masyarakat Dolok Masihul.
Kriteria DIDes Tidak Dirasakan Masyarakat
Padahal, secara prinsip, DIDes bertujuan untuk:
1. Mendorong perbaikan tata kelola keuangan desa yang transparan dan akuntabel.
2. Meningkatkan kualitas layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.
3. Mengembangkan potensi desa seperti pariwisata, pertanian, atau UMKM.
Namun di lapangan, desa-desa yang menerima DIDes justru tidak menunjukkan peningkatan nyata. “Tidak tampak perbaikan pelayanan, tidak ada program yang menyentuh masyarakat. Jadi penghargaan ini untuk siapa sebenarnya?” kritik seorang aktivis antikorupsi lokal.
Korupsi Terstruktur, Dana Desa Jadi ATM Politik?
Masalah tidak berhenti pada tataran teknis. Publik menuding bahwa pejabat-pejabat di tingkat desa hingga kepala dinas diduga menjadi bagian dari jejaring penguasa daerah untuk kepentingan politik dan keamanan. “Kepala desa sekarang bukan hanya pelayan masyarakat, tapi ATM politik bagi elite lokal,” ujar J.Alba seorang AKPERSI DPD Sumut
Praktik korupsi yang sistematis ini dinilai memperbesar potensi kerugian negara dan menggerogoti sendi-sendi pemerintahan dari bawah.
Desakan Kepada Presiden Prabowo: Bentuk Tim Investigasi Independen
Melihat skala dugaan penyimpangan ini, masyarakat sipil, LSM, hingga para aktivis antikorupsi mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan secara serius. Presiden diminta membentuk Tim Investigasi Khusus Independen guna mengusut dugaan korupsi anggaran Dana Desa dan DIDes di Serdang Bedagai dan daerah-daerah lain.
“Ini bukan sekadar soal uang desa, ini soal kehancuran sistem. Kalau dibiarkan, kerugian negara akan semakin besar dan kepercayaan rakyat semakin hilang,” ujar salah seorang JM yang tergabung di asosiasi keluarga Pers Indonesia
Kesimpulan: Ketika UU Keterbukaan Diabaikan, Demokrasi di Desa Runtuh
Kasus ini menegaskan bahwa demokrasi dan akuntabilitas di tingkat desa sedang dalam kondisi darurat. Dana publik yang semestinya mendorong pembangunan dan kesejahteraan justru menjadi sumber pembusukan. Tanpa transparansi, tanpa pengawasan, dan tanpa sanksi, sistem keuangan desa berpotensi menjadi lumbung korupsi yang tak tersentuh.
Indonesia butuh pemimpin yang tidak hanya tegas di panggung internasional, tetapi juga bersih dan kuat dalam membenahi sistem dari bawah. Serdang Bedagai mungkin hanya satu kasus dari banyak yang tersembunyi di balik laporan-laporan keuangan yang penuh formalitas. Tetapi bila dibiarkan, serpihan-serpihan kecil ini bisa menggerogoti fondasi republik dari desa ke desa—dan akhirnya ke pusat kekuasaan. ( Tim JK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar