Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Posisi Strategis Indonesia Pasca Perang Israel-Iran: Kembali Menjadi Penyeimbang Dunia

Senin, 16 Juni 2025 | Senin, Juni 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-16T06:34:06Z

Oleh: Ali Mochtar Ngabalin Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS)

Mantan Anggota Komisi I DPR RI 2004–2009



CNews -  Jakarta - Pada Jumat, 13 Juni 2025 - dunia kembali diguncang. Timur Tengah, kawasan yang telah lama menjadi barometer instabilitas global, mendidih kembali. Operasi udara besar-besaran Israel yang diberi sandi “Rising Lion” menghantam fasilitas nuklir Iran di Tehran dan Isfahan. Serangan itu menewaskan 78 orang dan melukai lebih dari 320 lainnya, termasuk warga sipil. Sebagai balasan, Iran meluncurkan lebih dari 100 rudal ke wilayah Israel, menghantam Tel Aviv dan Jerusalem. Sedikitnya tiga warga Israel tewas, puluhan lainnya luka-luka.


Ledakan bukan hanya terjadi di langit Timur Tengah, tetapi juga menggema ke panggung geopolitik global. Pasar minyak melonjak. Bursa dunia limbung. Dan yang paling krusial: diplomasi internasional dipaksa bekerja di bawah tekanan ekstrem.


Namun konflik ini bukan badai mendadak. Selama berminggu-minggu, tanda-tanda eskalasi sudah terlihat. Laporan IAEA mengungkap Iran kembali melanggar batas pengayaan uranium, bahkan mengaktifkan sentrifuga generasi lanjut di situs rahasia. Tiga jenderal senior Garda Revolusi Iran tewas dalam serangan Israel, memperkeruh situasi. Dunia berada di ambang perang terbuka yang melibatkan kekuatan nuklir dan sekutu-sekutu regionalnya.


Indonesia dan Diplomasi yang Tak Terlihat


Tepat sehari sebelum serangan itu pecah, sebuah panggilan diplomatik singkat namun strategis terjadi. Pada 12 Juni 2025, Presiden AS Donald Trump menghubungi Presiden RI Prabowo Subianto. Dalam durasi hanya 15 menit, dua pemimpin ini membahas dinamika kawasan dan pentingnya peran Indonesia sebagai aktor netral.


Pertemuan diplomatik ini tidak bisa dianggap remeh. Bagi para pengamat strategi internasional, panggilan tersebut merupakan kode keras: Amerika butuh mediator yang kredibel. Dan Indonesia, dengan reputasi panjangnya sebagai negara nonblok, tampil sebagai alternatif yang netral, rasional, dan diterima oleh berbagai pihak—termasuk dunia Islam dan Barat.


Kita kembali pada warisan Soekarno dan Hatta: politik luar negeri bebas aktif. Ini bukan slogan kosong, melainkan strategi bertahan dan mempengaruhi dunia tanpa harus terseret dalam poros kekuasaan global. Indonesia bukan pengekor, melainkan penyeimbang. Bukan pengamat, melainkan penjaga nalar di tengah kekacauan global.


Mengapa Indonesia?


Indonesia punya keunggulan strategis yang tak dimiliki negara-negara besar lainnya:


  • Netralitas historis: Indonesia tidak terlibat dalam kolonialisme atau intervensi militer di Timur Tengah.
  • Jejak diplomasi yang konsisten: Aktif di OKI, pemrakarsa Gerakan Non-Blok, serta menjaga hubungan bilateral baik dengan Iran maupun saluran informal ke Israel.
  • Modal moral: Suara Indonesia sering didengar karena dinilai tulus, bukan transaksional.


Lebih dari itu, Indonesia juga memiliki kekuatan yang bersifat soft power—pengaruh yang timbul bukan dari dominasi, melainkan dari kredibilitas moral dan konsistensi sikap.


Prabowo di Tengah Krisis Global


Kehadiran Prabowo sebagai pemimpin Indonesia pada saat genting ini memberi dimensi baru pada diplomasi Indonesia. Latar belakang militernya memberinya pemahaman taktis, sementara reputasi internasionalnya membuka akses ke kanal diplomasi formal maupun informal. Dalam dunia yang makin multipolar, Indonesia butuh pemimpin yang bisa bicara dalam bahasa realisme geopolitik tanpa meninggalkan etika global.


Trump memahami ini. Ia tahu bahwa untuk meredakan Iran, suara AS saja tidak cukup. Perlu mediator yang tidak dianggap musuh oleh Teheran. Dan itulah Indonesia—negara Muslim terbesar, demokrasi terbesar di Asia Tenggara, serta kekuatan ekonomi menengah yang tumbuh stabil.


Dari Perang ke Harapan: Indonesia Sebagai Penengah


Diplomasi bukan soal siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling dipercaya. Dunia membutuhkan penengah yang tidak menyimpan agenda tersembunyi. Indonesia hadir bukan untuk berpihak pada satu blok, tetapi berpihak pada prinsip: perdamaian, kemanusiaan, dan keadilan global.


Kini, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah menjaga konsistensi. Jangan sampai politik bebas aktif terjebak menjadi bebas pasif. Dunia menunggu peran aktif Indonesia sebagai jembatan dialog, bukan hanya pengamat.


Kesimpulan: Momentum Sejarah


Panggilan Trump bukan sekadar basa-basi protokoler. Itu adalah isyarat bahwa dunia kembali melirik Indonesia. Dunia tidak mencari pemimpin baru, tapi penengah yang bisa dipercaya. Indonesia tidak perlu menjadi adidaya, tetapi cukup menjadi bangsa yang memegang teguh nilai dan prinsip.


Ketika sejarah kelak menulis babak baru konflik Israel-Iran, semoga nama Indonesia tercatat bukan sebagai penonton di pinggir panggung, tetapi sebagai aktor utama dalam penyelamatan martabat kemanusiaan global.

( Tim - Redaksi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update