CNEWS - Washington – Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi memulai lawatan strategis ke Timur Tengah pada Senin (12/5) waktu setempat, dengan Arab Saudi sebagai destinasi pertama. Kunjungan ini bukan sekadar diplomasi rutin—melainkan misi berisiko tinggi yang dibayangi perang brutal di Jalur Gaza, potensi konfrontasi dengan Iran, dan renggangnya hubungan pribadi Trump dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Pesawat kepresidenan Air Force One lepas landas dari AS menuju Riyadh, disusul agenda kunjungan ke Qatar, Uni Emirat Arab, dan kemungkinan dialog darurat di Turki mengenai perang Ukraina. Namun semua mata kini tertuju pada Gaza—konflik yang justru semakin membara sejak Trump kembali berkuasa.
Trump menyampaikan pernyataan emosional sebelum keberangkatan, merespons pembebasan sandera AS-Israel Edan Alexander oleh Hamas. "Ini berita besar. Dia akan pulang ke keluarganya. Mereka mengira dia sudah mati," ujar Trump. Namun di balik pernyataan itu, publik menilai Trump gagal menjaga janji kampanye: menghentikan perang Gaza dengan cepat.
Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump tak lagi menekan Israel secara terbuka. Sebaliknya, dia mulai mengkritik Netanyahu secara halus—terutama terkait operasi militer yang menimbulkan korban sipil dan memicu kecaman global. Seorang pejabat senior AS bahkan menyebut hubungan Trump-Netanyahu kini “di titik paling dingin sejak tahun 2017”.
Tak hanya Gaza, isu Iran juga kembali ke panggung utama. Trump mengklaim ada "hal-hal sangat baik" dalam komunikasi dengan Teheran, namun tetap memperingatkan bahwa Iran “tidak akan diizinkan memiliki senjata nuklir”. Pernyataan itu kontras dengan laporan intelijen yang menyebut aktivitas nuklir Iran kini berada di level paling sensitif sejak 2015.
Lawatan Trump kali ini juga sarat kepentingan bisnis. Sumber di lingkaran Gedung Putih menyebut ada draft awal kesepakatan senilai miliaran dolar dengan mitra Saudi di sektor energi dan pertahanan. Namun apakah kesepakatan ini akan memperkuat perdamaian—atau justru memperdalam krisis—masih menjadi tanda tanya besar.
Trump datang membawa ambisi, tapi juga beban: perang yang gagal dihentikan, mitra yang mulai renggang, dan dunia yang terus bergolak. ( SS - Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar