C.NEWS - Jakarta, 8 Mei 2025 — Pernyataan keras Luhut Binsar Pandjaitan terhadap para purnawirawan TNI yang menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Jokowi menuai kecaman luas. Ucapan Luhut yang menyarankan agar siapa pun yang tak taat konstitusi “angkat kaki dari Indonesia” dinilai bukan hanya arogan, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi.
Salah satu reaksi keras datang dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menyebut bahwa justru Luhut yang layak diusir karena menunjukkan wajah kekuasaan yang anti-kritik.
“Kalau Luhut mau usir orang yang kritik pemerintah, maka dialah yang harus pergi lebih dulu. Jangan biasakan menjadikan kekuasaan sebagai tameng untuk membungkam suara rakyat,” tegasnya.
Pernyataan Luhut itu menyasar kelompok purnawirawan termasuk Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden dan sesepuh TNI, yang menuntut pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, sang Wapres muda hasil putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu disebut-sebut sebagai "jalan tol hukum" yang dibuka oleh Ketua MK saat itu—yang juga adik ipar Presiden Jokowi.
Konstitusi Dilanggar, Bukan Dikhianati oleh Kritik
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat dan berpendapat. Maka kritik yang dilontarkan para purnawirawan adalah sah dan dilindungi konstitusi. Justru, pertanyaannya kini berbalik: siapa yang sebenarnya melanggar konstitusi? Para pengkritik? Atau aktor kekuasaan yang mengakali hukum demi melanggengkan dinasti politik?
Aktivis politik Adi Prayitno menyentil Luhut secara langsung:
“Gak perlu tanya ‘sudah berbuat apa untuk negara’. Justru publik boleh tanya balik: Luhut sendiri sudah berbuat apa, selain menumpuk kekuasaan dan kekayaan?”
Hal senada dilontarkan pengamat politik Faizal Assegaf yang menyebut Luhut sebagai "Pak Tua sok jagoan" yang sekadar menumpang di lingkar kekuasaan:
> “Jangan sok jagoan dan arogan. Mulut besar itu karena nyaman di singgasana kekuasaan. Tapi rakyat tidak bodoh.”
Luhut dan Dinasti Kekuasaan
Menurut sejumlah pihak, Luhut kini bukan sekadar pejabat, tetapi pelindung utama proyek dinasti politik yang sedang dibangun di bawah nama Presiden Jokowi. Gelagat ini dianggap berbahaya bagi masa depan demokrasi dan konstitusi Indonesia.
> “Yang dibela Luhut bukan negara, tapi keluarga Jokowi dan lingkar oligarki. Negara ini bukan proyek politik keluarga!” ujar seorang aktivis sipil dalam forum diskusi nasional.
Dugaan konflik kepentingan pun mencuat. Laporan LHKPN menunjukkan harta kekayaan Luhut yang fantastis. Banyak pihak mempertanyakan kelayakan dan asal kekayaan tersebut, terutama karena statusnya sebagai pejabat publik selama puluhan tahun.
Krisis Demokrasi Bukan Makar
Desakan terhadap pemakzulan Gibran bukan makar. Bukan pula upaya memecah belah bangsa. Ini adalah bentuk kegelisahan publik melihat konstitusi dijungkirbalikkan demi ambisi segelintir elite.
“Yang terjadi hari ini adalah krisis keadilan. Kalau demokrasi benar-benar dihormati, seharusnya kritik seperti ini disambut, bukan dibungkam,” ujar seorang akademisi hukum tata negara.
Rakyat Harus Ambil Sikap
Gelombang protes terhadap Luhut menandakan satu hal: publik mulai lelah. Demokrasi dibajak, hukum direkayasa, kritik dibungkam. Tapi seperti kata sejarah, bangsa ini lahir dari perlawanan—bukan ketakutan.
Seruan pun meluas:
Lawan pembungkaman! Lawan pengkhianat konstitusi! Lawan Luhut yang arogan dan haus kuasa! ( Tim Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar