CNEWS - Jakarta – Dunia hukum kembali tercoreng oleh ulah seorang oknum pengacara yang diduga gagal memahami prinsip-prinsip dasar kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Murtadho, S.H., yang mengaku berasal dari Kantor Hukum RDE Advokat & Partner, secara kontroversial mengajukan aduan ke Dewan Pers atas tayangan video investigatif di platform media sosial TikTok yang memuat dugaan penambangan pasir ilegal oleh PT Nanda Jaya Silika di Lampung Timur.
Alih-alih menempuh jalur hukum formal untuk membantah tudingan tersebut, Murtadho justru mendesak Dewan Pers mengeluarkan rekomendasi terhadap sebuah konten yang tidak sepenuhnya tunduk pada yurisdiksi dewan itu, yakni video yang disebarkan melalui akun TikTok pribadi milik Sugiarto, warga Bandar Lampung sekaligus pengurus Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Lampung.
Video Tampilkan Dugaan Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang
Dalam video berdurasi pendek yang telah ditonton ribuan kali, terlihat dampak lingkungan yang cukup mengkhawatirkan dari aktivitas tambang pasir silika. Masyarakat lokal dalam video tersebut mengungkapkan keluhannya atas rusaknya akses jalan ke ladang dan laut, serta berubahnya aliran sungai menjadi genangan air besar yang menyerupai danau.
Sugiarto menegaskan bahwa video tersebut dibuat berdasarkan kesaksian warga terdampak dan ditayangkan sebagai bentuk jurnalisme warga—sebuah ekspresi demokratis yang dijamin konstitusi.
Rekomendasi Dewan Pers Dinilai Keliru Tempat
Menanggapi pengaduan Murtadho, Dewan Pers kemudian mengeluarkan tujuh poin evaluasi terhadap video dimaksud. Dalam rekomendasinya, dewan menilai bahwa video tersebut tidak memenuhi prinsip keberimbangan dan verifikasi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Namun, penilaian ini dinilai keluar dari batas kewenangan Dewan Pers, mengingat tayangan tersebut tidak dipublikasikan oleh institusi pers yang tunduk di bawah regulasi dewan itu, melainkan oleh individu di media sosial. Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menilai langkah Dewan Pers sebagai bentuk pelampauan wewenang dan justru berpotensi mengekang kebebasan berekspresi warga negara.
"Ini preseden buruk. Dewan Pers tidak memiliki dasar hukum untuk mengintervensi konten yang tayang di media sosial personal, apalagi meminta masyarakat tunduk pada aturan sertifikasi wartawan atau verifikasi dewan," ungkap Lalengke, Sabtu (10/5/2025).
Somasi Didasarkan Rekomendasi Tak Sah?
Lebih jauh, surat somasi yang dikirim Murtadho kepada Sugiarto juga menuai kritik tajam. Dalam surat tersebut, ia mendesak agar akun TikTok Sugiarto diverifikasi oleh Dewan Pers dan menyarankan agar yang bersangkutan memiliki sertifikasi wartawan utama. Permintaan ini dinilai mengada-ada dan tidak memiliki landasan hukum yang sah.
"Apa dasar hukumnya meminta warga biasa memiliki sertifikasi wartawan? Ini bentuk kegagalan memahami sistem hukum dan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga," tegas Lalengke.
Upaya-upaya seperti ini, lanjut Lalengke, memperlihatkan adanya indikasi keberpihakan pada kepentingan korporasi tambang yang diduga telah merusak lingkungan, ketimbang membela kepentingan masyarakat yang menjadi korban.
Perlu Evaluasi dan Reformasi Dewan Pers
Kasus ini membuka kembali diskursus penting tentang peran, wewenang, dan batas kewenangan Dewan Pers, terutama di era disrupsi digital. Ketika informasi tak hanya disampaikan oleh media arus utama, tetapi juga oleh warga melalui platform media sosial, maka perlu ada pembaruan pendekatan, bukan pemaksaan otoritas yang sudah tidak relevan.
( Tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar