CNEWS - Medan, 7 April 2025 — Konflik agraria kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, polemik penguasaan lahan eks HGU PTPN II di Sumatera Utara menyorot ketimpangan struktural dan dugaan praktik korupsi yang melibatkan korporasi besar. Di tengah ketegangan itu, dua anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka dan Nasril Bahar, menyatakan kesiapan menerima audiensi aktivis Sumut di Kompleks Parlemen Senayan.
Pernyataan ini disampaikan usai komunikasi langsung antara para aktivis dan kedua legislator tersebut melalui sambungan telepon dan pesan WhatsApp, Minggu (6/4).
“Bu Rieke menyambut baik dan menyatakan siap menerima kami. Beliau serius menyikapi isu ini,” ungkap Ariswan, aktivis dari Gerakan Rakyat Berantas Korupsi (Gerbrak).
Sementara itu, Nasril Bahar menyarankan agar aktivis turut membuka ruang dialog dengan PTPN II sebagai bagian dari solusi konstruktif, namun menegaskan bahwa Komisi VI tetap membuka pintu lebar untuk aspirasi masyarakat.
Dugaan Korupsi dan Penggusuran oleh PT Ciputra Development
Polemik memuncak saat lahan eks HGU PTPN II yang ditengarai bermasalah, kini diduga telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh PT Ciputra Development Tbk untuk proyek pembangunan ribuan unit rumah mewah. Proyek ini dituding melanggar hukum dan menggusur warga secara paksa.
“Kami menduga keras pembangunan tersebut ilegal dan sarat praktik korupsi. Negara tidak boleh diam. Komisi VI harus turun langsung ke lapangan,” tegas Saharuddin, Koordinator Gerbrak Sumut.
Aktivis menilai penguasaan lahan oleh Ciputra dilakukan tanpa transparansi dan kejelasan hukum. Ini menjadi alarm serius atas kegagalan negara dalam menjaga hak atas tanah rakyat, dan potret nyata dari konflik agraria yang justru diperparah oleh kolusi antara korporasi dan oknum kekuasaan.
Konsolidasi dan Seruan Moral untuk Komisi VI
Sebelum menuju Jakarta, para aktivis akan menggelar diskusi publik dan konsolidasi dengan berbagai elemen masyarakat sipil, tokoh nasional, serta akademisi untuk memperkuat posisi advokasi.
“Ini bukan sekadar sengketa lahan, tapi pertarungan antara hak rakyat dan kekuasaan modal,” tandas Ariswan.
Kini, mata publik tertuju pada Komisi VI DPR RI yang dihadapkan pada ujian moral dan sejarah: berpihak pada rakyat atau tunduk pada kuasa korporasi ( Tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar