CNEWS - Tangsel – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Perdana Kabinet Merah Putih, Oktober 2024 lalu, masih terngiang: "Kalau bisa dibuat mudah, kenapa harus dibuat sulit?" Namun ironi justru terjadi di tubuh birokrasi, di mana pelayanan publik yang seharusnya menjadi hak rakyat, masih dibenturkan dengan sekat-sekat administratif dan pendekatan legalistik sempit yang merugikan publik.
Kondisi ini nyata dalam kasus gugatan informasi publik yang diajukan media Skalainfo.net terhadap Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Tangerang Selatan. Bukannya mendapatkan jawaban substantif terkait penggunaan anggaran 2023, gugatan ini malah ditolak oleh Komisi Informasi Provinsi Banten—tanpa menyentuh pokok perkara.
Rakyat Digiring Jadi “Ahli Regulasi”?
Padahal, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas menempatkan masyarakat sebagai pihak yang berhak atas layanan yang berkualitas dan mudah diakses. Sayangnya, dalam praktik, rakyat justru diposisikan seolah-olah harus lebih dulu memahami seluk-beluk Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) hanya untuk menuntut hak yang sudah dijamin undang-undang.
Lebih mengherankan lagi, Komisi Informasi Provinsi Banten selaku pengadil justru tidak mengupas subtansi gugatan, malah terjebak pada formalitas administratif. Ini menjadi tamparan keras bagi semangat reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah pusat.
Ketum PPWI: Komisioner Gagal Nalar, Harus Diganti
Merespons kejadian ini, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, dengan tegas menyebut para komisioner Komisi Informasi Banten sebagai sosok yang "gagal nalar".
"Menurut saya, komisioner Komisi Informasi Banten itu tidak punya kapasitas untuk mengadili sengketa informasi publik. Mereka ibarat orang buta huruf yang dipaksa membaca buku—sudah pasti hasilnya ngawur," kecam Wilson.
Alumnus Lemhannas RI (PPRA-48 Tahun 2012) ini menegaskan bahwa seorang pengadil informasi haruslah individu yang memiliki kecerdasan intelektual, pemahaman hukum yang mendalam, dan kemampuan analisis yang logis.
“Keputusan mereka tidak berpihak pada keadilan dan transparansi. Mereka lebih layak diganti dengan tokoh yang paham hukum, filsafat, serta etika publik,” ujarnya.
Pers Dihambat, Publik Dirugikan
Sebagai bagian dari kontrol sosial, pers memiliki kedudukan strategis dalam mengawasi penggunaan anggaran negara. Ketika media seperti Skalainfo.net justru dihambat aksesnya oleh birokrasi dan pengadil informasi, maka publik berhak bertanya: Masih adakah keberpihakan negara terhadap keterbukaan dan akuntabilitas?
Masyarakat tak menuntut lebih—hanya keadilan dan transparansi. Tetapi ketika jawaban birokrasi adalah penolakan, dan keputusan Komisi Informasi tak lebih dari salinan naskah kosong tanpa logika hukum, maka jelas ada yang perlu diperbaiki secara sistemik.
"Jika komisioner Komisi Informasi tidak mampu membaca ruh UU KIP, maka bukan rakyat yang harus belajar hukum—melainkan merekalah yang perlu mundur," pungkas Wilson. ( Tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar