Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


Kasus Dugaan Penganiayaan Wartawan dan Isu Propaganda Sara di Tebing Tinggi Mandek, Polisi Diduga Terima Suap

Minggu, 23 Maret 2025 | Minggu, Maret 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-23T14:22:53Z

 


TEBING TINGGI, CNEWS – Kasus dugaan penganiayaan terhadap Rudianto Purba, Pemimpin Redaksi Gnewstv.id, semakin menunjukkan kejanggalan. Sudah dua bulan berlalu sejak laporan dibuat ke Polres Tebing Tinggi, namun hingga kini belum ada kejelasan terkait proses hukum terhadap pelaku.


Laporan dengan nomor STPLP/B/554/XII/2024/SPKT/POLRES TEBINGTINGGI/POLDA SUMATERA UTARA ini dinilai menguji kredibilitas kepolisian dalam menegakkan hukum secara adil. Lambannya penanganan kasus ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada permainan di balik layar, terutama setelah beredar video yang menunjukkan adanya pertemuan antara aparat kepolisian dan pihak terlapor, WHB, seorang pengusaha kelapa parut di Tebing Tinggi.


Berawal dari Teguran, Berujung Penganiayaan


Insiden bermula saat Rudianto Purba menegur WHB terkait kebisingan yang ditimbulkan usahanya di Jalan KF Tandean, Kecamatan Bajenis, Kota Tebing Tinggi. Aktivitas usaha WHB yang berlangsung hingga dini hari dikeluhkan warga sekitar karena mengganggu kenyamanan.


Namun, teguran tersebut justru berakhir dengan tindakan kekerasan. Rudianto mengaku dianiaya oleh WHB dan kelompoknya, yang membuatnya segera melaporkan kejadian ini ke polisi dengan harapan ada tindakan hukum yang cepat dan adil. Sayangnya, harapan itu hingga kini belum terwujud.


Dugaan Suap Menghambat Proses Hukum


Dugaan adanya permainan kotor dalam kasus ini semakin menguat setelah beredar rekaman video yang memperlihatkan sejumlah aparat kepolisian Polres Tebing Tinggi bertemu dengan WHB di depan lokasi usahanya. Dalam rekaman tersebut, terlihat momen pemberian amplop yang diduga berisi uang suap untuk mengamankan bisnis WHB dan menghambat proses hukum terhadapnya.


Jika benar adanya, tindakan ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih bisa diperjualbelikan, seperti yang pernah disinggung oleh Prof. Mahfud MD, mantan Menkopolhukam, bahwa hukum di Indonesia kerap dijadikan industri yang mencari keuntungan, bukan sebagai alat penegak keadilan.


Selain itu, aparat juga seolah menutup mata terhadap pelanggaran lain yang dilakukan WHB, seperti penggunaan badan jalan untuk kepentingan pribadi yang berpotensi membahayakan pengguna jalan. Padahal, hal ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Upaya Pengalihan Isu dengan Propaganda SARA


Tak hanya itu, WHB diduga berupaya mengalihkan perhatian publik dengan memainkan isu SARA. Isu ini sempat memicu ketegangan di masyarakat dan menjadi perbincangan di media sosial.


Rudianto Purba, yang juga merupakan Ketua Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) serta peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Dewan Pers angkatan 2018, mendesak Kapolri dan Kapolda Sumut untuk segera turun tangan dalam kasus ini. Ia menuntut agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan tidak bergantung pada tekanan viral di media sosial.


Selain melaporkan kasus ini ke Polres Tebing Tinggi, Rudianto juga telah mengajukan laporan ke Polda Sumatera Utara dengan nomor STTLP/B/102/1/2025/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA berdasarkan Undang-Undang ITE.


“Hukum tidak boleh tunduk pada prinsip ‘No Viral, No Justice’. Aparat harus bertindak berdasarkan hukum, bukan kepentingan tertentu,” tegas Rudianto.


Kasus ini menjadi ujian besar bagi institusi kepolisian. Jika dugaan suap benar adanya, bukan hanya kredibilitas Polres Tebing Tinggi yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.

(Tim Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update