CNEWS, Sorong --- Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat Daya, resmi menggelar sidang perdana permohonan praperadilan masyarakat adat Yesaya Saimar terhadap aparat kepolisian Sorong Selatan dan Polda Papua Barat Daya, Kamis (30/10/2025). Gugatan itu dilayangkan melalui kuasa hukumnya, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H. dan Bambang Wijanarko, S.H., atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prosedur hukum oleh aparat penegak hukum dalam penanganan kasus sengketa bangkai kapal tongkang milik PT Mitra Pembangunan Global.
Permohonan ini menyasar langsung sejumlah pejabat kepolisian, yakni Kapolres Sorong Selatan AKBP Gleen Rooy Molle, Kasat Reskrim Calvin Reinaldi Simbolon, Kanit Tipidter Abdul Karim, dan Dirreskrimum Polda Papua Barat Daya Kombes Pol Junov Siregar.
Sidang praperadilan dijadwalkan berlangsung secara maraton hingga 5 November 2025. Kasus ini dinilai menjadi ujian serius bagi lembaga peradilan dalam memastikan supremasi hukum dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua.
Latar Belakang: Hutang Perusahaan dan “Penculikan” Korban
Awal sengketa bermula pada Maret 2025, ketika masyarakat adat yang dipimpin Yesaya Saimar menahan satu unit tongkang dan tugboat milik PT Mitra Pembangunan Global sebagai jaminan atas utang perusahaan kepada komunitas adat.
Kasus ini kemudian ditangani Polres Sorong Selatan. Saat itu, Kasat Reskrim Calvin Reinaldi Simbolon memediasi kedua pihak dan menghasilkan perjanjian damai bahwa perusahaan akan melunasi kewajiban pembayaran kepada masyarakat adat. Namun, kesepakatan itu diduga dikhianati.
Tak lama setelahnya, Kanit Tipidter Abdul Karim bersama sejumlah anggota disebut menculik Yesaya Saimar dan istrinya, lalu memaksa mereka menandatangani surat pencabutan kuasa hukum dan laporan polisi di Mapolres Sorong Selatan.
Ironisnya, bangkai kapal tongkang yang menjadi objek jaminan ditarik paksa oleh polisi dan dipindahkan ke lokasi penyimpanan tidak resmi yang disebut “galangan kapal” milik Polda Papua Barat Daya — di bawah pengawasan langsung Dirreskrimum Kombes Pol Junov Siregar.
Kesepakatan DPR Dilanggar, Barang Bukti “Dikuras”
Kasus ini sempat dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR Papua Barat Daya pada 22 September 2025. Semua pihak hadir, termasuk Polres Sorong Selatan, Polda Papua Barat Daya, Wakil Bupati Sorong Selatan, dan perwakilan masyarakat adat.
Hasil rapat menyepakati satu hal pokok: tidak boleh ada pihak yang menguasai atau memindahkan objek sengketa sebelum proses hukum tuntas.
Namun fakta di lapangan berbanding terbalik. Aparat kepolisian tetap menahan dan bahkan membongkar sebagian material kapal tongkang tanpa izin hukum. Tindakan itu dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap lembaga legislatif dan pelanggaran berat terhadap asas due process of law.
Pelanggaran KUHAP: Penyitaan Ilegal dan Prosedur Dilanggar
Dalam permohonan praperadilannya, pihak pemohon menegaskan bahwa tindakan penyitaan dan penguasaan objek sengketa oleh aparat kepolisian tidak memiliki dasar hukum sah sebagaimana diatur dalam Pasal 38, 39, 127, dan 129 KUHAP.
KUHAP secara tegas menyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan wajib disertai berita acara yang disaksikan oleh pihak terkait dan aparat desa.
Dalam kasus ini, tidak ada satupun prosedur itu dijalankan.
“Polisi melakukan penyitaan tanpa surat izin pengadilan, tanpa berita acara resmi, bahkan tanpa kehadiran saksi yang sah. Ini bukan lagi kekeliruan administratif, tapi penyalahgunaan kekuasaan yang menciderai martabat hukum di republik ini,” tegas Simon Maurits Soren kepada wartawan usai sidang, Kamis (30/10).
Tuntutan Praperadilan
Pemohon meminta agar Pengadilan Negeri Sorong menyatakan tindakan penyitaan dan penguasaan bangkai kapal oleh Polres Sorong Selatan dan Polda Papua Barat Daya sebagai tidak sah, serta memerintahkan pengembalian kapal tugboat dan tongkang kepada pihak masyarakat adat Yesaya Saimar dkk.
“Kami meminta agar seluruh barang sitaan dikembalikan dalam kondisi utuh, tanpa kerusakan atau kehilangan sedikitpun, dan agar para termohon dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindakan sewenang-wenang mereka,” ujar Simon.
Sorotan Nasional: PPWI Kecam Moral Aparat
Dari Jakarta, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, turut mengecam keras tindakan aparat yang dinilai mempermalukan institusi Polri.
“Saya sangat prihatin. Aparat semacam ini adalah cerminan buruknya moral di tubuh kepolisian kita. Mereka bekerja tanpa hati nurani, seolah hukum bisa dibeli. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedural, tapi kejahatan terhadap rakyat dan konstitusi,” tegas Wilson yang juga alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012.
Menurutnya, kasus di Sorong Selatan menjadi bukti nyata gagalnya Kapolda Papua Barat Daya Irjen Pol Gatot Haribowo dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam melakukan pembinaan moral serta pengawasan terhadap bawahannya.
“Pimpinan Polri terlihat gamang karena sistemnya sudah busuk. Para bawahan setor ke atasan, makanya semua kejahatan diamankan. Rakyat kecil dibiarkan menjadi korban. Semoga hakim di Sorong masih punya keberanian moral untuk menegakkan keadilan,” pungkasnya.
Analisis
Kasus ini tidak sekadar sengketa perdata antara masyarakat adat dan perusahaan. Lebih dari itu, ia membuka borok praktik penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum di wilayah-wilayah sumber daya alam Papua.
Penyitaan tanpa dasar hukum dan intimidasi terhadap masyarakat adat menunjukkan pola lama kolonialisme hukum yang masih hidup di Tanah Papua: rakyat adat dikriminalisasi, korporasi dilindungi. ( Tim.Red)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar