Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Harga Cabai Melonjak: Emak-Emak Menjerit, Penjual Masakan Siap-Siap Naikkan Harga

Rabu, 22 Oktober 2025 | Rabu, Oktober 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-22T00:38:42Z


CNEWS, Sumut — Lonjakan harga cabai kembali menjadi sorotan dan keluhan utama masyarakat, terutama kalangan ibu rumah tangga. Di berbagai pasar tradisional di Sumatera Utara dan sejumlah daerah lainnya, harga cabai merah tembus hingga Rp100.000 per kilogram, bahkan di beberapa wilayah dilaporkan lebih tinggi.


Cabai, yang menjadi bumbu utama hampir setiap masakan Nusantara, kini menjadi “barang mewah” di dapur masyarakat. Bagi sebagian besar warga, terutama pedagang kuliner dan penjual lauk siap santap, kondisi ini memaksa mereka menyesuaikan strategi belanja hingga menaikkan harga jual agar tidak merugi.


“Biasanya saya belanja cabai tidak sampai seratus ribu. Sekarang harus lebih dari itu. Mau tidak mau harga jual sayur masak saya naik dari Rp5.000 jadi Rp7.000 per porsi,” kata Ibu Misra, penjual sayur masak di kawasan Medan , saat ditemui wartawan, Selasa (21/10/2025).

 

Menurutnya, kenaikan harga cabai berdampak langsung terhadap seluruh rantai ekonomi rumah tangga kecil.


“Kalau pedasnya dikurangi, pelanggan langsung komplain. Mereka bilang rasanya jadi hambar, kurang nendang. Tapi kalau tetap jaga rasa, otomatis biaya masak naik. Mau tidak mau harga jual ikut naik,” tambahnya.

 

Cabai, Simbol Stabilitas Dapur dan Inflasi Rakyat


Cabai bukan sekadar bumbu dapur bagi masyarakat Indonesia. Ia juga menjadi indikator sensitif terhadap inflasi pangan. Ketika harga cabai naik, hampir semua sektor kuliner dan rumah tangga ikut terimbas.


Bagi para ibu rumah tangga, mengatur ulang uang belanja menjadi pekerjaan harian yang lebih rumit. Sebagian bahkan mengurangi pembelian ikan atau daging agar tetap bisa membeli cabai demi menjaga cita rasa masakan.


“Kalau cabai mahal, nasi tetap dimakan, tapi rasanya kayak kurang lengkap. Sudah jadi budaya orang Indonesia, makan tanpa pedas itu rasanya tidak nikmat,” ujar seorang warga lainnya di Pasar pagi tradisional Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara 


Faktor Cuaca dan Distribusi Jadi Pemicu

Dari pantauan di lapangan, kenaikan harga cabai dipicu kombinasi faktor cuaca ekstrem di sejumlah sentra produksi seperti Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, serta gangguan distribusi pasokan antar-daerah.
Sebagian petani mengeluhkan gagal panen akibat curah hujan tinggi dan serangan hama yang membuat produksi turun drastis.


Selain itu, pola perdagangan antar-provinsi juga dinilai belum stabil. Beberapa pedagang besar menahan stok, menunggu harga mencapai puncak untuk mendapatkan margin lebih besar.


“Kita selalu reaktif. Begitu harga naik, baru sibuk operasi pasar. Padahal seharusnya ada sistem penyangga yang menjamin ketersediaan pasokan cabai di setiap daerah,” ujar Kh.R.syahputra C.In., C.EJ., C.BJ., CN 

Ia mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat koordinasi, terutama dalam penyediaan cold storage, distribusi antar-pulau, dan stabilisasi harga di tingkat petani.


Rasa Pedas, Simbol Daya Tahan Emak-Emak

Meski harga cabai melonjak, sebagian besar masyarakat memilih untuk tetap mempertahankan cita rasa khas Nusantara. Bagi banyak ibu rumah tangga, mengurangi cabai bukan solusi, melainkan kehilangan identitas rasa masakan itu sendiri.


“Selama ini pedas sudah jadi ciri khas. Mau mahal, tetap beli, tapi dikira-kira saja jumlahnya,” kata Ibu Misra sembari tersenyum getir.

 

Kenaikan harga cabai bukan sekadar soal pedas di lidah, tetapi juga mencerminkan “pedasnya” tekanan ekonomi rakyat kecil(TIM RI) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update