CNEWS, Deli Serdang, 18 September 2025 — Gelombang ketidakpuasan masyarakat terhadap dugaan kongkalikong aparat penegak hukum dengan pemerintah desa memuncak di Kabupaten Deli Serdang. Aliansi Gerakan Masyarakat Peduli Desa (AMPD) menggelar aksi unjuk rasa serentak, Kamis (18/9/2025), menuntut kejelasan proses hukum terkait dugaan korupsi dan pemalsuan tanda tangan penerima Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) di Desa Buntu Bedimbar, Kecamatan Tanjung Morawa.
Aksi ini dilakukan di tiga titik strategis: Kantor Bupati Deli Serdang, Kejaksaan Negeri Deli Serdang, dan Markas Polresta Deli Serdang.
Polresta Deli Serdang Disorot
Di depan Mapolresta, Komando Aksi AMPD, Sri, menyampaikan bahwa hukum di wilayah hukum Polresta Deli Serdang dianggap “mati suri” di hadapan rakyat kecil.
Menurut Sri, laporan masyarakat sejak 2024 terkait dugaan penyimpangan BLT-DD sudah diperiksa Unit Tipikor Polresta Deli Serdang. Bahkan, saksi korban penerima manfaat telah memberikan keterangan resmi. Namun hingga kini, tak ada kejelasan hasil penyidikan.
“Kami sudah memberikan keterangan sebagai korban penerima BLT. Fakta sudah terang, tapi keadilan seolah-olah dikubur hidup-hidup di Polresta Deli Serdang,” tegas Sri.
Kekecewaan di Kejari Deli Serdang
Massa AMPD kemudian melanjutkan aksi ke Kejaksaan Negeri Deli Serdang. Pihak Kejari menyebut laporan masyarakat atas nama Sarjono Syam telah diproses. Namun dokumen hasilnya justru mengecewakan publik.
“Yang ditunjukkan Kejaksaan tidak sesuai, dan dugaan pemalsuan tanda tangan KPM penerima BLT-DD tahun 2021–2023 tidak ada kejelasannya,” kata Sri.
Kesaksian Korban: Tandatangan Dipalsukan
Sejumlah warga penerima manfaat BLT-DD turut hadir dalam aksi. Mereka mengaku tidak pernah menandatangani dokumen pencairan, namun namanya tetap tercatat sebagai penerima.
Marni (47), seorang ibu rumah tangga, menuturkan dengan suara bergetar:
“Saya tidak pernah tanda tangan atau terima uang bantuan itu. Tapi nama saya ada di daftar penerima. Tandatangan saya jelas dipalsukan. Kami hanya orang kecil, tapi jangan hak kami dipermainkan seperti ini,” ucapnya.
Kesaksian serupa disampaikan Samsul Bahri (52), buruh harian lepas:
“Saya baru tahu nama saya dipakai untuk mencairkan BLT. Padahal satu rupiah pun saya tidak terima. Ini jelas penipuan, tapi kenapa aparat diam saja?” katanya geram.
Dugaan Kerugian Negara
Berdasarkan data lapangan yang dihimpun AMPD, terdapat setidaknya 120 KPM di Desa Buntu Bedimbar yang mengaku tidak pernah menerima bantuan meski namanya tercatat. Jika dihitung per KPM menerima Rp300.000 per bulan selama tiga tahun (2021–2023), potensi kerugian negara ditaksir mencapai lebih dari Rp1,2 miliar.
Data ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik sistematis berupa pemalsuan tanda tangan dan manipulasi daftar penerima manfaat yang melibatkan perangkat desa.
Manuver Kepala Desa Timbulkan Tanda Tanya
Di tengah aksi unjuk rasa, muncul isu bahwa pada hari yang sama, para kepala desa se-Kecamatan Tanjung Morawa mendatangi Kejaksaan Negeri Deli Serdang untuk melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU).
Langkah ini menimbulkan spekulasi publik: apakah kunjungan massal para kades tersebut berkaitan dengan kasus dugaan penyimpangan BLT-DD yang sedang dipersoalkan, atau sekadar strategi meredam tekanan hukum?
Tuntutan Tegas AMPD
AMPD menegaskan akan terus mengawal kasus ini sampai aparat penegak hukum benar-benar bersikap transparan. Mereka menuntut Polresta Deli Serdang dan Kejari Deli Serdang membuka kembali hasil penyelidikan serta menyeret pihak-pihak yang bertanggung jawab ke ranah hukum.
“Hukum jangan hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Jika aparat masih bermain mata, kami akan terus bergerak sampai kebenaran ditegakkan,” pungkas Sri.
Catatan
Kasus dugaan penyimpangan BLT-DD Desa Buntu Bedimbar bukan sekadar persoalan administrasi desa, melainkan persoalan integritas hukum di Kabupaten Deli Serdang.
Pemalsuan tanda tangan warga penerima manfaat bukan hanya merampas hak rakyat miskin, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Publik kini menanti: apakah aparat berani menindak kasus ini secara transparan, atau justru membiarkannya terkubur dalam “permainan” politik dan birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar