CNEWS – Ketapang/Tebing Tinggi — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai warisan politik Presiden justru berubah menjadi mimpi buruk di sejumlah daerah. Bukan lagi sekadar menu “agak laen” dengan daging ikan hiu di Ketapang, Kalimantan Barat, kini kasus keracunan massal kembali berulang di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Pola yang muncul menyingkap kelemahan sistemik: kelalaian vendor, lemahnya pengawasan, hingga dugaan bisnis gelap yang menukar keselamatan anak-anak dengan keuntungan cepat.
Ketapang: Filet Hiu Jadi Tragedi
23–29 September 2025 akan dikenang sebagai pekan absurd di SDN 12 Benua Kayong, Ketapang. Anak-anak SD disuguhi menu filet ikan hiu dengan saus tomat—bukan ayam goreng atau telur ceplok. Hasilnya tragis: 24 murid dan 1 guru mual, muntah, dan sesak napas.
Hiu, predator puncak laut yang kaya kandungan logam berat seperti merkuri dan arsenik, jelas bukan bahan pangan layak untuk anak sekolah. Namun, dapur penyedia MBG di Ketapang nekat memasukkannya ke kotak nasi.
Lebih parah, dapur tersebut beroperasi berdampingan dengan somel (pengolahan kayu), melanggar standar higienitas. Aroma asap kayu bercampur dengan saus tomat dan nasi anak-anak. Kepala Regional MBG Kalbar akhirnya mengakui kelalaian dan menutup dapur tersebut, tetapi publik tahu yang berhenti bukan hanya dapur, melainkan juga kepercayaan orang tua murid.
Tebing Tinggi: Dua Kali Keracunan dalam Sepekan
Skandal MBG tidak berhenti di Ketapang. Di Sekolah Rakyat (SR) Tebing Tinggi, Sumatera Utara, keracunan massal terjadi dua kali dalam rentang sepekan.
- Senin, 25 Agustus 2025: 17 siswa tumbang dengan gejala keracunan.
- Senin, 1 September 2025: 18 siswa kembali dirawat dengan gejala serupa, terdiri dari 1 laki-laki dan 17 perempuan.
Dari 18 siswa, 12 dirawat di RS Natama, 4 di Puskesmas Tanjung Marulak, dan 2 ditangani di UKS sekolah. Direktur RS Natama, dr. Edi Sembiring, memastikan gejalanya konsisten dengan keracunan makanan.
Namun, Kepala SR Tebing Tinggi, Khairul Anwar Lubis, bungkam saat ditanya soal penanggung jawab katering maupun mekanisme pengawasan kualitas makanan. Diamnya pihak sekolah justru mempertebal dugaan adanya upaya menutup-nutupi fakta.
Lemahnya Pengawasan, Dugaan Kolusi Vendor
Fakta di lapangan menunjukkan, pengawasan terhadap vendor MBG nyaris nihil. Di beberapa daerah, dapur MBG bahkan tidak memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi. Di Pamekasan, Jawa Timur, tercatat ada 33 dapur bermasalah; sebagian memasak langsung di lantai tanpa masker.
Sejumlah pemerhati pendidikan menilai, pengadaan katering sarat praktik kolusi. Vendor ditunjuk tanpa proses transparan, sementara kualitas makanan diabaikan. “Yang penting program berjalan, karena ini perintah Presiden,” begitu jawaban klise yang kerap dilontarkan korwil MBG.
Bagi orang tua, ini adalah alarm bahaya. “Kami titipkan anak untuk belajar, bukan untuk jadi korban makanan beracun. Pemerintah jangan tutup mata,” tegas seorang wali murid di Tebing Tinggi.
Dari Gizi ke Bisnis Gelap
Program MBG sejatinya dirancang untuk mengatasi gizi buruk dan stunting. Namun, praktik di lapangan lebih mirip eksperimen kuliner yang membahayakan. Dari filet hiu yang kaya logam berat hingga katering abal-abal tanpa standar higienis, anak-anak sekolah menjadi kelinci percobaan birokrasi.
Beberapa sumber internal menyebut, pola bisnis vendor MBG berpotensi melibatkan oknum sekolah dan pejabat daerah. Skema ini membuat pengawasan longgar dan akuntabilitas hilang. Dugaan ini menunggu investigasi serius dari aparat penegak hukum.
Publik Tunggu Sikap Tegas
Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Sosial belum mengumumkan identitas vendor yang bertanggung jawab atas insiden di Tebing Tinggi. Di Ketapang, penyedia hanya dihentikan sementara.
Tanpa investigasi transparan dan sanksi tegas, kasus keracunan MBG dikhawatirkan terus berulang di berbagai daerah. Apa yang semestinya menjadi program penyelamat gizi justru berubah menjadi skandal nasional yang memperdagangkan masa depan anak-anak Indonesia. ( Tim /Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar