Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Rahayu Saraswati Mundur dari DPR RI, Sebuah Fenomena Langka di Politik Indonesia

Senin, 15 September 2025 | Senin, September 15, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-15T05:37:46Z

 


CNEWS - Jakarta – Keputusan Rahayu Saraswati mundur dari keanggotaan DPR RI periode 2024–2029 atas inisiatif pribadi, menjadi fenomena langka dalam politik Indonesia yang selama ini miskin teladan akuntabilitas.


Langkah politisi muda dari Partai Gerindra itu mengejutkan publik. Tidak hanya karena posisinya baru berjalan setahun pasca terpilih, tetapi juga karena ia dianggap sebagai sosok berprestasi, relatif bersih dari kontroversi, dan memiliki rekam jejak perjuangan politik yang konsisten.


Saras pernah gagal melenggang ke Senayan pada Pemilu 2019, namun bangkit dan berhasil meraih kursi pada 2024 melalui kerja politik yang panjang. Fakta ini menunjukkan karakternya berbeda dengan politisi muda lain yang kerap mengandalkan garis keturunan atau restu elite partai.


Kritik yang Dipelintir


Alasan pengunduran diri Saras bermula dari kritik di media sosial terkait pernyataannya dalam sebuah podcast. Ia menyampaikan gagasan agar generasi muda tidak hanya menunggu lapangan kerja dari pemerintah, melainkan berani menggunakan keterampilan untuk membuka usaha sekecil apapun demi menciptakan kesempatan kerja baru.


Pernyataan yang sebenarnya visioner dan solutif itu kemudian dipelintir sebagai ucapan tidak sensitif. Bukan karena pamer harta, bukan gaya hidup hedon, apalagi sikap arogan—melainkan karena gagasan yang sebetulnya mengandung pesan tanggung jawab kolektif.


Berbeda dengan Mayoritas Politisi


Langkah Saras kontras dengan kultur DPR RI saat ini. Tidak sedikit anggota DPR yang meski dipermalukan publik karena kasus etik, perilaku tidak pantas, atau ketidakmampuan menjalankan fungsi legislasi, tetap enggan mundur. Banyak yang justru berlindung di balik kursi partai dan kekuasaan.


Sebaliknya, Saras memilih mengundurkan diri meski alasannya masih bisa diperdebatkan. Langkah itu menegaskan standar integritas yang jauh lebih tinggi dibanding mayoritas politisi Senayan.


Budaya Malu yang Hilang


Pengunduran diri sukarela karena kritik publik nyaris tidak dikenal di Indonesia. Biasanya, pejabat baru akan lengser jika mendapat tekanan politik atau gelombang demonstrasi besar.


Perbandingan mencolok terlihat di Jepang. Di negeri itu, budaya malu dan tanggung jawab publik sudah mengakar. Banyak pejabat transportasi mundur hanya karena kereta terlambat beberapa menit. Standar ini menjadi norma akuntabilitas, bukan pengecualian.


Teladan Integritas

Dengan keputusannya, Saras memberikan pelajaran penting: berjuang demi bangsa tidak harus menjadi anggota DPR. Sikapnya menunjukkan bahwa akuntabilitas dan integritas jauh lebih berharga daripada ambisi kekuasaan.


Langkah ini juga menegaskan bahwa di tengah krisis kepercayaan terhadap DPR RI, masih ada figur yang berani menjaga kehormatan pribadi sekaligus institusi.


“Tidak semua anggota DPR memalukan,” begitu pesan moral yang tertinggal dari pengunduran diri Saras.


Keputusan ini membuka ruang diskusi lebih luas: mungkinkah budaya malu dan standar akuntabilitas tinggi suatu hari benar-benar hidup di dunia politik Indonesia? ( Tim - Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update