![]() |
Poto ilustrasi |
CNEWS | Jakarta – Pemerintah resmi mengatur skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu melalui Keputusan Menteri PANRB Nomor 16 Tahun 2025. Aturan ini menegaskan, PPPK Paruh Waktu berhak menerima gaji minimal setara Upah Minimum Provinsi (UMP) atau sesuai penghasilan terakhir saat masih berstatus non-ASN.
Kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam penghapusan tenaga honorer. Namun, penerapannya tidak lepas dari persoalan anggaran, kesenjangan fasilitas, dan validitas data pegawai.
Gaji Disesuaikan UMP: Jakarta Tertinggi, Jawa Tengah Terendah
Berdasarkan UMP 2025, gaji PPPK Paruh Waktu sangat bervariasi antarwilayah.
- DKI Jakarta: Rp5.396.761 (tertinggi)
- Jawa Tengah: Rp2.169.349 (terendah)
Beberapa contoh daerah lain:
- Aceh Rp3.685.616
- Sumatera Utara Rp2.992.559
- Sumatera Selatan Rp3.681.571
- Riau Rp3.508.776
- Jawa Barat Rp2.191.232
- Jawa Timur Rp2.305.985
- DI Yogyakarta Rp2.264.081
Perbedaan ini mencerminkan kesenjangan upah antarwilayah yang selama ini juga terjadi di sektor swasta.
1 Juta Lebih Usulan, 66 Ribu Ditolak
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat hingga 22 Agustus 2025 terdapat 1.068.495 usulan formasi PPPK Paruh Waktu dari 538 instansi (49 instansi pusat, 489 instansi daerah). Namun, 66.495 formasi ditolak dengan rincian:
- 41,6% karena pegawai tidak aktif.
- 39,7% karena keterbatasan anggaran.
- Sisanya karena kebutuhan organisasi tidak sesuai atau alasan administratif.
Beberapa contoh usulan formasi:
- Pemprov Sumatera Utara: 11.658 formasi.
- Pemkot Bandung: 7.375 pegawai (guru, kesehatan, teknis).
- Pemkab Takalar: 3.962 tenaga non-ASN.
- Provinsi Sulawesi Selatan: 1.578 orang.
Data ini menunjukkan meski peluang terbuka lebar, ribuan tenaga honorer tetap berisiko tersisih karena kendala teknis dan fiskal.
Potensi Masalah di Lapangan
-
Anggaran Daerah
Banyak daerah masih bergantung pada transfer pusat. Jika dana tak mencukupi, pembayaran gaji bisa terlambat atau formasi dipangkas. -
Diskriminasi dengan ASN Penuh
PPPK Paruh Waktu hanya digaji setara UMP tanpa tunjangan kinerja, pensiun, atau fasilitas lain. Hal ini berpotensi menimbulkan kesenjangan dan rasa ketidakadilan. -
Eksploitasi Kerja
Ada kekhawatiran instansi memaksa beban kerja setara ASN penuh, padahal statusnya paruh waktu. Kondisi ini berisiko melahirkan “honorer gaya baru” dengan nama berbeda. -
Validasi Data Bermasalah
Ribuan usulan ditolak karena pegawai dianggap nonaktif atau data tidak valid. Masalah pendataan ini berpotensi merugikan banyak tenaga non-ASN.
Jalan Tengah atau Jebakan Baru?
Kebijakan PPPK Paruh Waktu 2025 sejatinya dimaksudkan sebagai solusi transisi menuju birokrasi modern tanpa tenaga honorer. Namun, tanpa pengawasan ketat, regulasi ini bisa menjadi jebakan baru yang melahirkan kelompok pegawai setengah diakui tanpa jaminan kesejahteraan jangka panjang.
Pemerintah dituntut memastikan:
- Anggaran tersedia secara berkelanjutan.
- Gaji dibayarkan tepat waktu.
- Beban kerja sesuai kontrak paruh waktu.
- Tidak ada diskriminasi struktural dengan ASN penuh
- Jika tidak, cita-cita menghapus sistem honorer pada 2025 hanya akan berubah nama, sementara praktik ketidakadilan tetap berlangsung ( RED)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar