CNEWS | Serdang Bedagai, Sumut – Program bantuan sosial (bansos) dan BPJS gratis yang seharusnya menjadi jaring pengaman rakyat miskin kini justru menjadi ajang skandal. Di Kelurahan Pekan Dolok Masihul, Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, publik digegerkan oleh temuan mencengangkan: 158 nama penerima bansos hilang misterius dan diganti dengan nama baru yang tidak jelas asal-usulnya.
Lebih ironis, bukan hanya bansos yang raib, melainkan juga hak warga atas BPJS gratis ikut dicabut sepihak tanpa alasan. Fakta ini menimbulkan kecurigaan kuat adanya praktik manipulasi data terstruktur dengan indikasi korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparat di tingkat kelurahan hingga kabupaten.
Suara Warga: “Tiba-tiba Nama Kami Hilang”
Sejumlah warga terdampak mengaku kaget ketika mengetahui nama mereka tidak lagi terdaftar sebagai penerima.
“Biasanya kami dapat bansos dan BPJS gratis. Tiba-tiba hilang semua. Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan. Ini zalim,” keluh Ibu Mis, seorang ibu rumah tangga yang menggantungkan hidup dari bansos.
Seorang perangkat kelurahan pun beralasan mengaku tidak tahu dalam proses perubahan data.
“Kami akui di pemerintahan kelurahan ini tidak pernah melakukan musyawarah dengan masyarakat untuk revisi daftar nama yang menerima bansos dan BPJS kesehatan geratis. informasi soal hilangnya 158 nama, kami tidak tahu, begitu juga dengan BPJS kesehatan geratis ,” ungkapnya.
Kisah serupa dialami sebut saja Pak Putra, yang tidak jelas Penghasilannya kini kesulitan mengakses layanan kesehatan.
“Sejak BPJS gratis saya dihapus, saya harus mencari pinjaman untuk biaya berobat. Padahal BPJS gratis dari program pemerintah bisa membantu bagi masyarakat yang penghasilannya tidak jelas ,” ujarnya dengan nada getir.
Hitung-hitungan Kerugian Negara
Bansos yang hilang bernilai besar:
- BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai): Rp200 ribu/bulan → Rp2,4 juta/tahun per keluarga.
- PKH (Program Keluarga Harapan): Rp900 ribu – Rp3 juta/tahun per keluarga.
Hanya dari BPNT, potensi kerugian negara mencapai: 158 x Rp2,4 juta = Rp379,2 juta per tahun.
Jika ditambah hak PKH, nilainya bisa melampaui Rp500 juta.
Dan itu baru di satu kelurahan. Jika praktik serupa terjadi di kecamatan lain di Kabupaten Serdang Bedagai, potensi kerugian negara bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahun.
Regulasi Dilanggar Terang-terangan
Padahal, menurut Permensos No. 3 Tahun 2021 tentang DTKS, setiap perubahan data penerima bansos wajib melalui:
- Musyawarah desa/kelurahan.
- Penetapan resmi oleh kepala desa/lurah.
- Verifikasi Dinas Sosial kabupaten/kota.
- Persetujuan Kemensos melalui DTKS.
Namun, fakta di Dolok Masihul menunjukkan: tidak ada musyawarah, tidak ada berita acara, tidak ada verifikasi resmi.
Praktik ini bukan hanya melanggar aturan teknis, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi serta melanggar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mewajibkan data penerima bantuan diumumkan secara terbuka agar bisa diawasi publik.
Indikasi Nepotisme dan Permainan Aparat
Kecurigaan publik semakin menguat ketika muncul nama-nama baru pengganti penerima lama yang tidak jelas latar belakangnya.
“Kalau nama lama hilang, lalu muncul nama baru, pasti jelas ada orangnya, tapi sampai saat ini mereka tidak bisa menunjukan mana nama - nama orangnya yang telah di ganti, atau nama hantu yang mereka gantikan.
Tambahnya" Jangan - jangan ini ada kepentingan kelompok tertentu. Yang dijadikan bansos dan BPJS kesehatan gratis sebagai alat politik atau ajang nepotisme,” tegas seorang tokoh masyarakat Dolok Masihul, yang juga aktivis di Serdang Bedagai.
Pendamping PKH setempat, Dian, menyebut dirinya telah melakukan ground check dengan melibatkan perangkat lingkungan. Namun pengakuan ini bertolak belakang dengan keterangan pihak kelurahan yang menyebut tidak dilibatkan sama sekali. Perbedaan pernyataan ini memperlihatkan adanya tumpang tindih dan potensi manipulasi data yang disengaja.
Titik Rawan Manipulasi Data
Investigasi media menemukan ada dua titik rawan dalam alur bansos:
- Level Kelurahan/Desa: Data bisa dihapus atau diganti sebelum diteruskan ke Dinas Sosial.
- Level Kabupaten: Nama bisa diubah saat input ke DTKS tanpa pengawasan publik.
Alur resmi bansos: Warga miskin → Kelurahan/Desa → Dinsos Kabupaten → DTKS Kemensos → Bank penyalur → Penerima.
Dua titik rawan manipulasi jelas berada di kelurahan/desa dan kabupaten.
Desakan Audit dan Proses Hukum
Ketua DPC LSM ANTARTIKA Sergai, Kh. R. Syahputra C.BJ, C.EJ., menegaskan pihaknya akan melaporkan kasus ini ke Inspektorat dan Aparat penegak hukum
“Ini bukan lagi sekadar kesalahan administrasi, tapi indikasi pidana. Kalau benar ada permainan, aparat harus menindak. Bansos dan BPJS kesehatan gratis adalah titah presiden untuk rakyat, bukan bancakan aparat kelurahan, desa, atau dinas sosial kabupaten,” tegasnya.
Sejumlah aktivis bahkan mendesak Aparat penegak hukum untuk turun tangan, mengingat praktik ini berpotensi masuk kategori kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif yang merugikan rakyat miskin sekaligus negara.
Kesimpulan Investigatif
Kasus Dolok Masihul membuka borok serius tata kelola bansos di Kabupaten Serdang Bedagai:
- 158 nama penerima bansos hilang misterius, diganti nama baru yang tidak jelas asal-usulnya.
- BPJS kesehatan gratis warga miskin ikut dicabut sepihak.
- Prosedur hukum & regulasi dilanggar terang-terangan.
- Indikasi nepotisme, manipulasi, dan permainan elit lokal semakin nyata.
Jika aparat hukum tidak segera bergerak, publik khawatir praktik serupa akan terus berulang bahkan bukan cuma di kelurahan Dolok Masihul namun di seluruh kelurahan/ Desa di kabupaten Serdang Bedagai dan merampas hak masyarakat miskin yang seharusnya dilindungi negara.
( TimRi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar