Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Kontol Kejepit Resmi Jadi Warisan Budaya Takbenda: Dari Filosofi Dewi Sri hingga Diplomasi Kuliner Nusantara

Rabu, 24 September 2025 | Rabu, September 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-24T06:32:02Z


 CNEWSYOGYAKARTA – Indonesia kembali menambah daftar panjang Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dengan penetapan adrem atau yang lebih populer disebut “kue kontol kejepit” (tolpit) dari Bantul, Yogyakarta. Keputusan ini diumumkan oleh Kementerian Kebudayaan RI dan diakui secara resmi dalam daftar WBTb 2025. 


Pengakuan tersebut menegaskan bahwa sebuah kuliner tradisional bukan hanya soal rasa, tetapi juga memuat nilai sejarah, spiritualitas, identitas sosial, hingga menjadi media diplomasi budaya.


Jejak Sejarah dan Filosofi

Kue adrem, berbahan dasar tepung beras, kelapa, dan gula merah, telah dikenal masyarakat Bantul sejak berabad-abad lalu. Dalam tradisi Jawa, ia memiliki fungsi ritual dan sosial.


  1. Ritual Panen – Adrem biasa disajikan sebagai bentuk sesaji kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dalam mitologi Jawa, sebagai simbol rasa syukur atas hasil bumi.
  2. Alat Tukar – Pada masa lalu, jajanan ini sering diperdagangkan dengan sistem barter menggunakan hasil panen padi atau singkong.
  3. Filosofi Hidup – Nama adrem berasal dari kata “adem” (tenteram, sejuk), yang mengandung doa agar kehidupan masyarakat selalu damai, penuh pengayoman, dan sejahtera.


Dengan demikian, kue ini bukan hanya pangan, tetapi juga artefak budaya yang memuat kosmologi Jawa tentang keselarasan manusia, alam, dan Sang Pencipta.


Kontroversi Nama “Kontol Kejepit”

Popularitas kue ini semakin mencuat karena nama julukan yang nyentrik: kontol kejepit. Istilah tersebut menimbulkan pro-kontra, tetapi para budayawan menegaskan bahwa penyebutan ini harus dipahami dalam konteks budaya lokal, bukan sekadar makna vulgar.


  • Versi Bentuk – Kue ini dianggap menyerupai alat kelamin pria, sehingga secara turun-temurun masyarakat menyebutnya demikian.
  • Versi Teknik – Proses memasak dilakukan dengan cara menjepit adonan menggunakan tiga bilah bambu atau sumpit di dalam minyak panas hingga mengembang. Inilah yang melahirkan istilah “kejepit.”

Mardinem, penjual adrem asal Bantul, menegaskan bahwa nama tolpit lebih merujuk pada teknik pembuatan daripada bentuknya.

 

“Kalau dicur (dituang) adonan itu mengembang, lalu dijepit dengan tiga sumpit. Dari situlah sebutannya tolpit, bukan karena menyerupai alat vital,” ujarnya.

 

Kisminah, pembuat adrem lainnya, menambahkan:


“Kalau tidak dijepit, bentuknya hanya mirip apem. Dengan dijepit, justru jadi khas, unik, dan lebih menarik.”

 

Dari Pasar Tradisional ke Warisan Nasional

Hingga kini, adrem masih dijajakan di pasar-pasar tradisional Bantul, terutama saat acara budaya seperti Pasar Kangen Jogja. Namun, pengakuan sebagai WBTb membuat posisinya naik kelas: dari jajanan rakyat menjadi identitas budaya bangsa.


Menurut catatan Pemprov DIY, penetapan adrem sebagai WBTb membawa beberapa dampak penting:


  1. Pelestarian – Generasi muda didorong untuk meneruskan tradisi pembuatan kue ini.
  2. Ekonomi Kreatif – Produsen lokal mendapat peluang lebih luas memasarkan kue adrem dengan nilai tambah.
  3. Pariwisata Kuliner – Adrem kini bisa menjadi ikon wisata gastronomi Yogyakarta, bersanding dengan gudeg dan bakpia.
  4. Diplomasi Budaya – Kuliner tradisional menjadi bagian strategi Indonesia memperkenalkan kekayaan budaya ke dunia internasional.


Tantangan ke Depan

Meski telah diakui sebagai WBTb, kue adrem menghadapi sejumlah tantangan:


  • Komersialisasi berlebihan – Dikhawatirkan menggerus otentisitas jika diproduksi massal tanpa menjaga teknik tradisional.
  • Klaim Budaya – Dengan makin populernya nama “kontol kejepit”, ada potensi klaim dan distorsi makna di luar konteks aslinya.
  • Regenerasi Pengrajin – Banyak pembuat adrem adalah generasi tua, sementara minat anak muda masih terbatas.

Eksklusif: Antara Vulgaritas dan Identitas

Bagi sebagian orang luar, nama kontol kejepit mungkin terdengar kasar. Namun, bagi masyarakat Bantul, justru di situlah letak keunikan dan daya tariknya.


Budayawan menilai, istilah ini mencerminkan kearifan lokal yang apa adanya, tanpa sensor, dan menjadi bukti bahwa bahasa rakyat sering lebih jujur serta apa adanya dibandingkan tafsir akademik.


Dengan status WBTb, adrem kini bukan lagi sekadar makanan. Ia adalah cermin perjalanan budaya Jawa, dari sawah, dapur, hingga panggung nasional. ( Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update