CNEWS, Labuhanbatu – Sabtu (20/9/2025)
Kasus pengeroyokan dua wartawan di Labuhanbatu oleh oknum debt collector memicu kemarahan publik dan kecaman keras organisasi pers nasional. Peristiwa itu terjadi di depan kantor ACC Finance, Jalan Sisingamangaraja, Kecamatan Rantau Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Jumat (19/9/2025).
Polres Labuhanbatu bergerak cepat dengan menetapkan dua pelaku berinisial R dan P sebagai tersangka pada Sabtu (20/9/2025). Namun sejumlah pelaku lain masih buron. Publik menuntut aparat tidak hanya berhenti di permukaan, melainkan mengusut tuntas hingga ke akar, termasuk perusahaan leasing yang mempekerjakan para debt collector.
Kronologi Singkat: Wartawan Jadi Sasaran Premanisme
Dua korban pengeroyokan diketahui merupakan wartawan lokal Labuhanbatu, salah satunya adalah Ketua DPC Akpersi Labuhanbatu Raya.
Keduanya sedang meliput praktik penarikan kendaraan oleh debt collector. Mereka berusaha mencegah tindakan yang dinilai melanggar hukum. Namun justru menjadi sasaran amukan para “Mata Elang”.
Bogem mentah mendarat di wajah mereka. Pukulan bertubi-tubi di ruang terbuka, di depan publik. Insan pers dihajar hanya karena menjalankan tugas jurnalistik.
Insiden ini sontak viral di media lokal dan memicu gelombang kemarahan masyarakat.
Hukum yang Jelas, Tapi Dilanggar
Padahal, aturan soal eksekusi kendaraan sudah sangat tegas:
-
UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Eksekusi objek fidusia hanya bisa melalui parate eksekusi berdasar sertifikat fidusia atau melalui putusan pengadilan. Bukan dengan kekerasan di jalan. -
Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019
Kreditur tidak bisa serta-merta menarik kendaraan tanpa kesepakatan dengan debitur atau putusan pengadilan. -
Pasal 365 KUHP
Mengambil barang dengan kekerasan di muka umum adalah tindak pidana perampasan.
Artinya, praktik penarikan paksa oleh debt collector jelas tindak pidana, bukan sekadar urusan perdata.
Profil Ringkas Korban
- Korban I: Ketua DPC Akpersi Labuhanbatu Raya, seorang wartawan senior yang dikenal vokal dalam isu kriminalitas dan perlindungan konsumen.
- Korban II: Wartawan muda dari media lokal, yang sedang bertugas bersama korban I untuk melakukan investigasi terkait praktik leasing di Labuhanbatu.
Keduanya mengalami luka fisik dan trauma psikologis akibat pengeroyokan tersebut.
Tuntutan Publik: Bersihkan Jalan dari Preman Leasing
Kasus ini membangkitkan kembali isu lama: maraknya praktik premanisme berbaju debt collector. Publik menuntut:
- Tangkap seluruh pelaku kekerasan – tidak boleh ada satupun lolos dari jerat hukum.
- Usut perusahaan leasing – ACC Finance harus diperiksa, karena debt collector tidak bekerja sendiri, melainkan dikontrak oleh perusahaan. Jika terbukti lalai atau memberi perintah, izin operasional leasing bisa dicabut.
- Operasi sapu bersih “Mata Elang” – preman jalanan harus disingkirkan dari Labuhanbatu.
- Saluran aduan aman untuk warga – Kapolres harus membuka kanal pengaduan dan menjamin perlindungan hukum bagi pelapor.
- Proses hukum transparan – perkembangan kasus wajib diumumkan ke publik.
Sikap Tegas Ketua Umum Akpersi
Ketua Umum Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (Akpersi), Rino Triyono, S.Kom., S.H., C.IJ., C.BJ., C.EJ., C.F.L.E., menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam.
“Saya selaku Ketua Umum Pusat Akpersi sangat mengecam keras pengeroyokan wartawan yang sedang bertugas. Ini bentuk pembungkaman pers dan pelanggaran terhadap UU Pers No. 40 Tahun 1999, Pasal 18 Ayat 1. Apalagi yang menjadi korban adalah Ketua DPC Akpersi Labuhanbatu Raya,” ujar Rino.
Ia menambahkan, kasus ini sudah diteruskan ke Mabes Polri. Rino juga mengingatkan semua pihak untuk tidak melakukan intimidasi maupun intervensi terhadap korban.
“Saya tidak akan membiarkan siapapun membungkam pers, apalagi anggota dan pengurus Akpersi. Kasus ini sudah diambil alih oleh DPP. Proses hukum harus berjalan, tidak ada kompromi terhadap kekerasan,” tegasnya.
Supremasi Hukum Dipertaruhkan
Kasus Labuhanbatu bukan sekadar kriminal biasa. Ini adalah ujian besar bagi negara hukum dan kebebasan pers. Bila aparat gagal menuntaskan kasus ini, publik akan semakin yakin hukum hanya slogan, sementara preman jalanan lebih berkuasa dari polisi.
Pers dibungkam, hukum dilecehkan, demokrasi terancam.
Labuhanbatu bisa jadi titik balik: apakah Indonesia benar-benar negara hukum, atau hanya negara yang membiarkan premanisme berjaya? (Tim Inv)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar