CNEWS, Raja Ampat — Polemik tambang nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali mencuat. Aktivis Papua menuding PT GAG Nikel—anak usaha PT Aneka Tambang (Antam)—telah kembali menjalankan eksplorasi nikel, meski kawasan tersebut dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia sekaligus pulau kecil yang dilindungi undang-undang.
Ketua LSM Wgab Papua, Yerry Basri Mak, SH, MH, menyatakan kekecewaannya terhadap dugaan beroperasinya kembali tambang nikel di pulau tersebut.
“Kami sangat kecewa jika benar PT GAG kembali menjalankan eksplorasi nikel di Pulau Gag. Ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi soal masa depan rakyat Papua yang terus dikorbankan demi kepentingan segelintir elit pusat,” tegas Yerry kepada cnews, Minggu (14/9/2025).
Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto sudah pernah memerintahkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menghentikan eksplorasi di Pulau Gag. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
“Kalau sudah ada perintah Presiden untuk menghentikan, tapi eksplorasi masih berjalan, lalu siapa sebenarnya yang mengatur ini? Ada kepentingan apa di balik izin beroperasinya tambang nikel di Pulau Gag?” kata Yerry dengan nada heran.
Ia juga menegaskan, “Raja Ampat adalah warisan dunia. Lautnya, hutannya, dan ekosistemnya tidak bisa dibeli dengan uang. Jangan hancurkan dinasti wisata dunia ini demi kepentingan segelintir orang.”
Jejak Hukum dan Izin PT GAG Nikel
PT GAG Nikel mengantongi Kontrak Karya generasi VII sejak 1998 dengan luas konsesi 13.136 hektar, meski luas daratan Pulau Gag sendiri hanya sekitar 6.500 hektar. Perusahaan mendapat izin operasi produksi sejak 30 November 2017 hingga 30 November 2047.
Perusahaan ini memiliki dokumen AMDAL yang direvisi tahun 2022 dan 2024, serta Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) terbit tahun 2015 dan 2018. Bahkan, PT GAG mengklaim telah meraih PROPER Hijau dari pemerintah sebagai tanda kepatuhan lingkungan.
Namun, status hukumnya menuai polemik. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas melarang pertambangan di pulau kecil. Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga mempertegas larangan itu. Selain itu, UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 menghapus sistem kontrak karya yang masih dipakai PT GAG.
Penolakan Publik yang Menguat
Meski pemerintah pusat membiarkan PT GAG beroperasi, masyarakat adat dan aktivis lingkungan menolak keras. Greenpeace, WALHI, dan JATAM menilai keputusan ini sebagai bencana ekologis dan bentuk keberpihakan negara pada oligarki ekstraktif.
Banyak warga lokal menolak karena khawatir tambang merusak sumber ikan, lahan adat, hutan, dan terumbu karang. Sementara itu, pemerintah justru mencabut izin empat perusahaan tambang lain di Raja Ampat—PT Kawai Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham—namun tidak terhadap PT GAG.
Keputusan berbeda ini menuai pertanyaan besar. Aktivis menuding ada kepentingan politik dan ekonomi di balik izin PT GAG yang dibiarkan tetap berjalan.
Pertanyaan yang Belum Terjawab
Meski PT GAG mengklaim menjalankan reklamasi, audit independen belum membuktikan transparansi keberhasilan pemulihan lingkungan. Selain itu, sertifikat laik operasi (SLO) untuk pembuangan limbah juga disebut belum tuntas.
“Ini menunjukkan pemerintah inkonsisten. Empat perusahaan lain dicabut izinnya, tapi PT GAG justru dibiarkan. Ada apa sebenarnya? Siapa yang diuntungkan?” pungkas Yerry.
Dengan kondisi ini, Raja Ampat kembali berada di persimpangan jalan: apakah akan tetap menjadi ikon pariwisata dunia yang dijaga, atau berubah menjadi lahan eksploitasi yang dikuasai oligarki tambang.( YBM - RED)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar