CNews , Serdang Bedagai – Kasus dugaan penghinaan terhadap Bupati Serdang Bedagai (Sergai), Darma Wijaya alias Wiwik, memasuki babak baru. Kepolisian Resor (Polres) Sergai telah menetapkan KBS (44), warga Dusun II, Desa Bah Siduadua, Kecamatan Serbajadi, sebagai tersangka setelah menuliskan kalimat yang dinilai tidak pantas di akun Facebook pribadinya dan menandai akun pribadi sang bupati.
Penetapan tersangka ini dikonfirmasi kuasa hukum Bupati Sergai, Rustam Effendi SH, didampingi Yudi SH dan Ikhwan SH, di Sei Rampah, Rabu (27/8).
“Kami telah menerima pemberitahuan resmi dari Satreskrim Polres Sergai. Laporan resmi kami dengan nomor LP/B/201/VI/2025/SPKT/Polres Sergai/Polda Sumut tanggal 9 Juni 2025 sudah diproses. Saat ini KBS berstatus tersangka atas dugaan pencemaran nama baik klien kami,” ujar Rustam.
Polisi: Tersangka Sejak Dua Pekan Lalu
Kasat Reskrim Polres Sergai, IPTU Binrod Situngkir SH, MH, membenarkan status hukum tersebut.
“Benar, KBS sudah ditetapkan sebagai tersangka hampir dua minggu lalu. Pemeriksaan terakhir berlangsung sekitar lima jam,” kata Binrod.
KBS sendiri sebelumnya memenuhi panggilan penyidik pada Jumat (20/6). Dalam pemeriksaan, ia mengakui unggahan tersebut dan menyampaikan penyesalan.
“Ya, saya memang menulis kata-kata tidak pantas melalui akun Facebook saya,” ujarnya usai pemeriksaan.
Dimensi Hukum dan Etika Digital
Kuasa hukum Bupati menilai unggahan itu tidak hanya menyerang pribadi, tetapi juga berpotensi merendahkan martabat kepala daerah di ruang publik.
“Apalagi dilakukan secara terbuka dengan menandai akun pribadi klien kami. Itu menunjukkan ada unsur mempermalukan,” tegas Rustam.
Dengan status tersangka, KBS kini dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan akan menjalani proses hukum lebih lanjut.
Peringatan atau Kriminalisasi?
Kasus ini menambah daftar penggunaan UU ITE di Sumatera Utara, khususnya dalam perkara laporan pejabat terhadap warganya. Dari sisi edukasi, aparat mengingatkan masyarakat agar lebih bijak menggunakan media sosial. Kebebasan berekspresi tetap harus memperhatikan batasan hukum.
Namun, di sisi lain, sejumlah kalangan masyarakat sipil menilai penerapan UU ITE kerap menimbulkan ketimpangan, sebab hukum dinilai lebih cepat berjalan ketika pejabat menjadi pelapor dibanding ketika masyarakat kecil mencari keadilan.
Ada juga publik menyikapi, tidak semua kritik atau kata kasar harus dipidana. Ada ruang perdata atau mediasi yang lebih beradab. Jika setiap kritik dikriminalisasi, publik bisa takut menyampaikan aspirasinya yang bila mana kritik tersebut bertujuan untuk membangun.
Reaksi Publik di Sergai
Respons masyarakat di media sosial cukup beragam:
- Masyarakat menilai langkah hukum itu tepat demi menjaga martabat kepala daerah.
- Sebaliknya, sejumlah warga mengkritik bahwa UU ITE kerap dianggap “tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
- Ada juga yang menyarankan sebaiknya penyelesaian melalui mediasi. jika pelaku sudah minta maaf, sebaiknya cukup klarifikasi. Tidak sampai terpenjara hanya gara-gara tulisan di Facebook
Catatan Penting
- Kasus ini menjadi ujian integritas Polres Sergai dalam menegakkan hukum secara adil dan setara.
- Perdebatan publik menunjukkan semakin mendesaknya revisi UU ITE, terutama pasal-pasal multitafsir yang rawan digunakan untuk membatasi kritik.
- Dari sisi politik, langkah hukum ini berpotensi memengaruhi citra Bupati Sergai menjelang tahun politik: apakah dianggap tegas menjaga wibawa, atau justru terkesan anti-kritik. (JEKS-RED)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar