CNEWS , JAKARTA — Kelembagaan penanggulangan narkotika di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam. Dalam unggahan Instagram terbarunya bertajuk NGONTEN, Komjen Pol (Purn) Dr. Abang Iskandar, S.I.K., S.H., M.H., mengkritik keras arsitektur tata kelola P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika) yang ia nilai tidak terintegrasi, cacat desain, dan gagal menjalankan amanat konstitusi.
Menurut Abang Iskandar, sejak disahkannya Undang-Undang Narkotika pada 2009, pemerintah dan DPR justru menyalahi prinsip koordinasi lintas sektor yang menjadi roh dari upaya nasional pemberantasan narkoba. "Alih-alih membentuk badan koordinatif nasional sebagaimana diamanatkan konstitusi dan naskah akademik undang-undang, yang lahir justru Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga penyidik operasional, bukan sebagai koordinator lintas sektor," tegasnya.
Desain Kelembagaan Gagal: Fragmentasi, Overlap, dan Lemahnya Evaluasi
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) RUU Narkotika, pemerintah semula mengusulkan pembentukan satu badan nasional yang menangani seluruh aspek P4GN secara menyeluruh—dari pencegahan, rehabilitasi, hingga penindakan. Namun, dalam proses pembahasan di DPR, usulan tersebut dibelokkan. Fungsi koordinasi dihapuskan, dan BNN diberi mandat sebagai lembaga penyidik, tanpa otoritas koordinatif terhadap instansi lain.
Akibatnya, sistem penanggulangan narkotika Indonesia berjalan dalam format tambal sulam, dengan kewenangan yang tumpang tindih antara BNN, Polri, Kejaksaan, Kemenkes, Kemensos, Kemenkumham, dan berbagai institusi lainnya. Tidak ada satu lembaga pun yang secara struktural bertanggung jawab mengoordinasikan semua lini.
"Ini bukan hanya soal kelembagaan, tapi soal kegagalan mendasar dalam berpikir sistemik. Tanpa aktor koordinatif, program P4GN tinggal slogan kosong," kata seorang pakar hukum pidana yang enggan disebutkan namanya.
Efek Domino Kegagalan Struktural
Ketiadaan struktur koordinatif yang kuat melahirkan efek berantai yang membebani negara:
- Dualisme penanganan kasus narkotika, antara pendekatan represif dan rehabilitatif.
- Overkapasitas lembaga pemasyarakatan, akibat kriminalisasi terhadap pengguna narkoba kategori ringan.
- Rendahnya efektivitas program rehabilitasi, yang sebagian besar gagal memutus rantai ketergantungan.
- Lonjakan permintaan narkotika di desa-desa, serta derasnya arus pasokan dari luar negeri yang tak terbendung.
Alih-alih menurunkan prevalensi, pendekatan represif justru memperbesar ruang penyimpangan penegakan hukum, memperumit perlakuan terhadap korban penyalahgunaan, dan menggagalkan tujuan nasional untuk mewujudkan Indonesia bebas narkotika.
Desakan Publik: Presiden dan DPR Diminta Lakukan Revisi Menyeluruh
Situasi ini mendorong para pakar, akademisi, dan aktivis antinarkoba mendesak dilakukannya reformasi total desain kelembagaan dan kebijakan narkotika nasional. Mereka menilai saat ini adalah momentum penting untuk membongkar ulang kerangka P4GN yang sudah terbukti gagal secara sistemik.
Beberapa langkah konkret yang didesakkan:
- Membentuk badan nasional koordinatif lintas sektor, sesuai amanat awal UU Narkotika dan dokumen MvT.
- Menghapus dualisme kewenangan BNN dan aparat penegak hukum lainnya, terutama dalam fungsi penyidikan dan pengambilan keputusan tindak pidana.
- Mengubah pendekatan dari represif menjadi rehabilitatif berbasis kesehatan masyarakat, untuk pengguna narkotika, bukan kriminalisasi.
- Menata ulang tata kelola nasional anti-narkotika dengan prinsip good governance, akuntabilitas, dan efektivitas koordinasi lintas lembaga.
“Kepala negara, baik eksekutif maupun legislatif, harus segera bertindak. Penanggulangan narkoba bukan hanya tugas BNN, tapi tanggung jawab lintas sektor yang menuntut sistem terintegrasi dan kepemimpinan kuat,” ujar Abang Iskandar.
Menuju Indonesia Bebas Narkotika: Butuh Kemauan Politik, Bukan Sekadar Wacana
Kebijakan penanggulangan narkotika tidak dapat lagi dibebankan pada satu lembaga tanpa wewenang koordinatif. Butuh kemauan politik nyata dari Presiden, DPR RI, dan jajaran penegak hukum untuk merevisi desain besar P4GN yang selama ini cacat sejak lahir.
Tanpa itu, Indonesia akan terus terjebak dalam pola kebijakan yang reaktif, tidak efektif, dan rawan penyalahgunaan. Sementara itu, generasi muda di desa-desa hingga kota-kota besar terus terancam oleh jaringan narkotika yang kian canggih dan tak terkendali.
( Tim - Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar