CNEWS - Jakarta – Perkara pidana narkotika dengan terdakwa Farisz RM kini menjadi sorotan tajam, bukan hanya karena bobot ancaman hukumnya, tapi juga karena pertentangan antara dakwaan jaksa dengan ketentuan normatif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Farisz yang menggunakan pasal 114, pasal 111 jo pasal 55 KUHP, serta pasal 112 jo pasal 55 KUHP — yang notabene diperuntukkan bagi pengedar — dinilai tidak tepat sasaran. Padahal, secara faktual dan medis, Farisz adalah seorang penyalah guna yang berada dalam kondisi ketergantungan narkotika, tanpa adanya bukti perolehan keuntungan atau transaksi sebagai pengedar.
“JPU seolah-olah mengabaikan prinsip dasar dalam UU Narkotika, bahwa penyalah guna narkotika memiliki hak hukum untuk direhabilitasi, bukan dipidanakan seperti pengedar,” tegas salah satu pengamat hukum pidana Komjen Pol ( Purn) Dr Anang Iskandar .SIK SH.MH
Dakwaan Pengedar: Bertentangan dengan Fakta dan UU
UU Narkotika secara jelas membedakan antara pengedar dan penyalah guna. Pasal 114, 111, dan 112 UU No. 35 Tahun 2009 hanya diperuntukkan bagi pengedar atau orang yang memperoleh manfaat dari peredaran narkotika, sedangkan penyalah guna bagi diri sendiri seharusnya didakwa dengan pasal 127 ayat (1).
Selain itu, UU ini tidak mengenal percobaan tindak pidana narkotika, sehingga jika tidak ada bukti kuat adanya transaksi, penyertaan, maupun keuntungan dari peredaran narkotika, maka dakwaan dengan pasal 114 atau pasal 112 tidak dapat dibenarkan.
“Farisz adalah korban penyalahgunaan, bukan pelaku peredaran. Menuntutnya sebagai pengedar adalah bentuk kriminalisasi dan pelanggaran terhadap hak rehabilitasi yang dijamin undang-undang,” ujar tim penasihat hukum Farisz.
Keadilan Restoratif atau Dominus Litis, Bukan Solusi
Wacana untuk menghentikan penuntutan melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) dan dominus litis oleh Kejaksaan Agung juga menjadi perdebatan hukum. Meskipun kebijakan tersebut memberi ruang penghentian perkara demi kepentingan keadilan, namun UU Narkotika secara tegas memberikan mekanisme penyelesaian melalui rehabilitasi, bukan negosiasi hukum.
“Ini bukan perkara RJ atau dominus litis, ini soal menjalankan UU sesuai hak penyalah guna. Pasal 4 huruf d UU No. 35/2009 tegas menyatakan bahwa penyalah guna berhak mendapat rehabilitasi medis dan sosial,” jelas pengamat hukum pidana narkotika dari ICJR.
Pasal 103: Hakim Wajib Putus Rehabilitasi Jika Tidak Terbukti sebagai Pengedar
Jika dalam proses peradilan nantinya tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa Farisz menjual atau memperoleh keuntungan dari narkotika, maka hakim wajib menjatuhkan vonis rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Narkotika.
Pasal ini menyatakan bahwa penyalah guna yang terbukti dalam kondisi ketergantungan harus ditetapkan menjalani rehabilitasi medis dan sosial, bukan penjara.
“Kalau hanya terbukti sebagai pengguna, maka menjatuhkan pidana penjara adalah bentuk pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kewenangan,” tegas kuasa hukum Farisz dalam keterangan resminya.
Catatan Redaksi:
Konstruksi hukum yang salah dalam perkara narkotika bukan hanya mengorbankan individu, tetapi juga berpotensi mengacaukan arah kebijakan hukum nasional dalam penanggulangan narkotika. Penegakan hukum yang mengabaikan rehabilitasi sebagai pendekatan kesehatan, akan memperparah kondisi overkriminalisasi dan overcrowding di lembaga pemasyarakatan.
CNews akan terus mengawal proses hukum terhadap Farisz RM, demi memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan untuk negara, tetapi juga untuk warga yang berhak mendapatkan perlindungan hukum secara proporsional.
( Tim , Red) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar