Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Diduga Gunakan Surat Kementerian untuk Kepentingan Pribadi, Istri Menteri UMKM Didesak Diperiksa KPK: Potensi Gratifikasi Pendampingan Kedubes Eropa

Minggu, 06 Juli 2025 | Minggu, Juli 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-06T12:43:08Z


CNEWS - Jakarta – Polemik penggunaan institusi negara untuk kepentingan pribadi kembali mencuat setelah viralnya surat berkop Kementerian Koperasi dan UMKM yang meminta pendampingan enam Kedutaan Besar RI (KBRI) dan satu Konsulat Jenderal untuk istri Menteri UMKM, Agustina Hastarini, selama lawatannya ke tujuh negara Eropa.


Surat tersebut menuai kritik tajam karena diterbitkan oleh kementerian, sementara kunjungan itu diduga hanya urusan pribadi bertajuk “misi budaya”.


Aktivis antikorupsi dari Papua dan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) secara tegas mendesak KPK segera memeriksa istri Menteri UMKM, bukan sekadar mendengar klarifikasi dari sang suami, Maman Abdurrahman.


Aktivis Papua: Jangan Tutup Mata, Ini Dugaan Korupsi Fasilitas Negara


Ketua LSM WGAB Papua, Yerry Basri Mak SH MH, menilai penggunaan surat resmi kementerian untuk kepentingan pribadi adalah penyalahgunaan jabatan dan bentuk gratifikasi terselubung.


“Kalau tidak ada kepentingan negara, kenapa harus pakai surat kementerian? Jangan-jangan Kedubes mengeluarkan anggaran atau sumber daya negara untuk melayani kegiatan pribadi istri pejabat. Ini korupsi fasilitas negara. KPK wajib periksa,” tegas Yerry, Minggu (6/7/2025).

 

Menurut Yerry, selama ini banyak rakyat kecil di Papua sulit mendapatkan perhatian pemerintah, tapi keluarga pejabat bisa dengan mudah memanfaatkan jaringan Kedubes untuk tur keliling Eropa.
“Ini tamparan keras bagi keadilan sosial,” ujarnya


MAKI: Potensi Gratifikasi, Wajib Lapor 30 Hari


Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, memperingatkan bahwa pendampingan Kedubes, pengaturan akomodasi, atau jamuan yang diberikan kepada pribadi pejabat atau keluarganya, tanpa dasar tugas negara, secara hukum adalah gratifikasi yang wajib dilaporkan ke KPK dalam waktu maksimal 30 hari.


“Pendampingan atau fasilitas negara yang bukan tugas resmi, walaupun sekadar bantu urusan transportasi atau reservasi hotel, masuk kategori gratifikasi. Kalau tidak dilaporkan, maka bisa diproses pidana korupsi,” jelas Boyamin.

 

Boyamin juga mengkritik langkah Menteri UMKM yang hanya melakukan klarifikasi sepihak.


“Yang menerima fasilitasnya siapa? Istrinya. Maka KPK harus langsung panggil yang bersangkutan, bukan berhenti di klarifikasi suami,” tegasnya.

 

Fakta Kunci yang Menjadi Sorotan 


Surat Resmi Kementerian:
Surat bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025, tertanggal 30 Juni 2025, dikirimkan ke 6 Kedutaan Besar dan 1 Konsulat Jenderal. Surat ini menggunakan kop dan nomor agenda resmi kementerian.

Tidak Ada Agenda Resmi Negara:
Berdasarkan penelusuran CNews Investigasi, tidak ada satu pun program resmi Kementerian UMKM yang berkaitan dengan “misi budaya” istri Menteri UMKM di Istanbul, Sofia, Brussels, Paris, Lucerne, dan Milan.

Potensi Penyalahgunaan Wewenang:
Penggunaan surat resmi kementerian tanpa dasar program kerja kementerian mengindikasikan penyalahgunaan simbol negara untuk kepentingan keluarga pejabat.

Keterangan Menteri Belum Menjawab Substansi:
Maman Abdurrahman mengklaim semua biaya perjalanan istrinya ditanggung secara pribadi. Namun ia tidak membantah keabsahan surat resmi kementerian yang ia pimpin.


Potensi Pelanggaran: Bukan Hanya Etika, Tapi Pidana

Penggunaan atribut negara untuk kepentingan pribadi dapat melanggar:

  • Etika jabatan pejabat negara;
  • Administrasi keuangan negara, karena memanfaatkan sumber daya negara tanpa hak;
  • UU Tindak Pidana Korupsi, khususnya terkait penerimaan gratifikasi.


Pakar hukum pidana menilai, jika terbukti adanya fasilitas yang diterima dari Kedubes — walaupun berupa bantuan teknis — maka itu tetap tergolong gratifikasi, karena bukan dalam rangka tugas resmi negara.


KPK Didesak Jangan Tutup Mata


Yerry Basri menegaskan bahwa masyarakat menunggu pembuktian sikap independen KPK.

 

“Kalau KPK diam, artinya KPK tunduk pada kekuasaan pejabat. Ini ujian serius bagi integritas KPK,” katanya.

Sementara itu, Boyamin menambahkan,

“KPK bisa langsung verifikasi ke

 

KBRI negara-negara terkait. Apakah ada fasilitas yang keluar? Apakah ada permintaan akomodasi? Itu mudah ditelusuri.”

 

Kasus ini membuka tabir bagaimana jabatan publik masih kerap diperalat untuk kepentingan pribadi, bahkan hingga level diplomatik.
Surat yang semestinya mewakili kepentingan rakyat, justru digunakan untuk mengurus perjalanan keluarga pejabat yang bukan bagian dari tugas kenegaraan.


KPK kini ditantang: apakah akan benar-benar bertindak tegas, atau kembali membiarkan abuse of power berlindung di balik formalitas surat dinas. ( Tim YB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update