CNews - Tapanuli Utara – Perlawanan masyarakat adat Tano Batak terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL), anak usaha grup konglomerat Sukanto Tanoto yang dahulu bernama Indorayon, kembali membara. Kali ini, bukan hanya karena konflik agraria yang tak kunjung reda, tetapi juga karena tindakan teror yang menyasar aktivis agraria.
Pada Selasa, 27 Mei 2025, ratusan masyarakat adat dan aktivis lingkungan dari berbagai wilayah di Tano Batak menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Tapanuli Utara. Mereka mendesak Pemerintah Kabupaten dan DPRD untuk segera menutup PT TPL, yang mereka tuding sebagai biang kerok perampasan tanah adat dan kerusakan lingkungan di kawasan Danau Toba.
Namun, tak berselang lama, aksi damai itu dibalas dengan aksi teror. Delima Silalahi, aktivis perempuan sekaligus anggota Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menerima kiriman paket berisi bangkai burung—sebuah bentuk kekerasan simbolik yang menyiratkan ancaman fisik dan psikologis.
Rekam Jejak Kejahatan Agraria TPL
Menurut Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, konflik antara masyarakat adat dan TPL bukanlah isu baru. “Ini bukan protes pertama kami. Sejak 1980, perusahaan ini hanya membawa kesengsaraan. Setidaknya ada 12 kabupaten di Tano Batak yang menjadi korban,” tegasnya.
Data yang dihimpun Aliansi Tutup TPL mencatat, lebih dari 93 orang telah dikriminalisasi karena mempertahankan tanah adat mereka dari ekspansi perusahaan. Sepanjang tahun 2024 saja, KPA mencatat 9 konflik agraria yang dipicu TPL di Kabupaten Toba Samosir, Simalungun, dan Tapanuli Selatan, melibatkan 8.464,36 hektar lahan dan 270 keluarga adat sebagai korban langsung.
“Ini bukan sekadar konflik horizontal, ini adalah bentuk kolonialisme gaya baru lewat korporasi. Tanah dirampas, hutan dirusak, warga dikriminalisasi,” ujar Dewi Kartika.
Desakan kepada Negara: Tutup TPL Sekarang!
Teror terhadap Delima Silalahi dianggap sebagai puncak dari eskalasi intimidasi yang dilakukan terhadap para pembela hak-hak masyarakat adat. KPA bersama jaringan masyarakat sipil menyatakan sikap tegas:
- Mengutuk keras tindakan teror dan kekerasan simbolik terhadap Delima Silalahi.
- Mendesak Presiden RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera menutup PT TPL atas kejahatan agraria, perampasan tanah, dan kerusakan lingkungan yang berlangsung sistematis.
- Menuntut aparat kepolisian untuk mengusut dan mengungkap pelaku serta aktor intelektual di balik aksi teror tersebut.
- Menyerukan solidaritas luas kepada seluruh organisasi rakyat, masyarakat adat, dan jaringan masyarakat sipil untuk melawan segala bentuk intimidasi terhadap pejuang agraria dan lingkungan.
TPL: Warisan Luka di Negeri Indah Bernama Danau Toba
Indorayon, yang kemudian berubah nama menjadi TPL, telah menjadi simbol luka bagi banyak komunitas adat di Sumatera Utara. Di balik label “pembangunan industri berbasis hutan”, tersimpan cerita panjang peminggiran, kriminalisasi, hingga kehancuran ekologis di kawasan yang semestinya dilindungi negara.
Masyarakat adat di Tano Batak kini tidak hanya menuntut penutupan TPL. Mereka menuntut keadilan, pengakuan atas hak ulayat, serta pengembalian martabat atas tanah yang telah diwariskan turun-temurun.
“Kami bukan penjahat. Kami hanya mempertahankan tanah yang diwariskan nenek moyang. Kalau negara tak bisa lindungi kami, untuk apa ada negara?” ujar seorang tetua adat dari Parmaksian yang ikut turun ke jalan. ( Tim - Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar