![]() |
Wilson Lalengke Ketua Umum PPWI usut kasus pelecehan terhadap wartawati oleh seorang pejabat |
CNews - SORONG | Selasa, 10 Juni 2025 — Seorang wartawati dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Kota Sorong, Lie-Lie Yana Srul, resmi melaporkan dugaan pelecehan seksual secara elektronik yang diduga dilakukan oleh pejabat eselon di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya. Laporan tersebut telah teregistrasi di Polresta Sorong Kota dengan nomor LP/B/395/V/2025/SPKT/Polresta Sorong Kota/Polda Papua Barat Daya.
Terlapor adalah Samuel Konolu, yang juga tercatat dalam dokumen internal sebagai Samuel Kondjol, menjabat sebagai Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan Pemprov Papua Barat Daya. Dugaan pelecehan terjadi melalui aplikasi pesan instan WhatsApp pada Sabtu, 10 Mei 2025, dengan isi pesan yang disebut mengandung unsur ancaman verbal dan konten seksual eksplisit.
"Pesan itu membuat saya syok, merasa terintimidasi, dan sangat terganggu secara mental. Saya tidak mengira seorang pejabat publik bisa mengirim pesan seperti itu kepada jurnalis perempuan," ujar Lie-Lie usai membuat laporan.
Didampingi Ketua Umum PPWI, Proses Laporan Resmi Disaksikan Publik
Pelaporan dilakukan di SPKT Polresta Sorong Kota, diterima langsung oleh Aipda Darwin Persadan Sagala, dan diketahui oleh Kepala Polresta Sorong Kota. Lie-Lie didampingi langsung oleh Ketua Umum PPWI Nasional, Wilson Lalengke, serta anggota PPWI Sorong, Siberandus Refund, dan wartawan senior Papua Barat Daya, Resnal Umpain.
Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menyatakan bahwa tindakan pelecehan terhadap wartawan, khususnya jurnalis perempuan, tidak bisa ditoleransi, terlebih jika pelaku berasal dari kalangan pejabat negara.
“Ini bukan sekadar kasus pribadi. Ini soal perlindungan terhadap jurnalis yang menjalankan tugas profesinya. Negara tidak boleh membiarkan pejabat publik mencederai ruang kerja pers dengan kekuasaan dan intimidasi seksual,” tegas Wilson.
Ujian bagi Institusi: Polisi Didorong Bertindak Tegas dan Transparan
Wilson juga mengingatkan bahwa komitmen Polri terhadap perlindungan jurnalis dan korban kekerasan berbasis gender kini sedang diuji publik. Ia meminta penyidik bekerja objektif, transparan, dan tidak tunduk pada tekanan politik maupun birokratik.
“Kami akan kawal kasus ini hingga ke proses peradilan. Jika pelaku terbukti bersalah, harus ada konsekuensi hukum yang jelas. Ini soal integritas institusi negara,” ujarnya.
Aspek Hukum: Berpotensi Jerat UU ITE dan Kekerasan Seksual
Secara hukum, kasus ini berpotensi menjerat terlapor dengan pasal-pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait pengiriman konten bermuatan cabul atau ancaman secara elektronik, serta pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) jika unsur-unsurnya terpenuhi dalam proses penyelidikan.
Menurut analis hukum media dari LBH Pers Papua, dokumen elektronik, termasuk tangkapan layar pesan yang mengandung unsur seksual atau ancaman, dapat menjadi alat bukti utama dalam membangun konstruksi pidana.
Preseden Penting untuk Perlindungan Jurnalis Perempuan
Kasus ini dipandang sebagai preseden penting bagi penguatan perlindungan hukum terhadap jurnalis perempuan di lapangan. Di banyak daerah, wartawati kerap menghadapi pelecehan baik secara verbal maupun digital saat melakukan peliputan, terutama ketika berhadapan dengan elite lokal atau pejabat yang enggan dikritik.
"Jurnalis perempuan butuh ruang aman untuk bekerja. Pelecehan tidak boleh dianggap enteng, apalagi dilakukan oleh pejabat publik yang mestinya menjadi teladan," ujar seorang aktivis perempuan Papua Barat yang meminta identitasnya disamarkan. ( Tim Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar