CNews , PELALAWAN, RIAU | Selasa, 10 Juni 2025 — Operasi besar-besaran penertiban kawasan hutan dimulai. Menteri Pertahanan RI Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, yang juga menjabat Ketua Tim Pengarah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), memimpin langsung operasi pengambilalihan kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dari cengkeraman para pengusaha sawit ilegal.
Satgas PKH dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, sebagai respons atas maraknya penguasaan kawasan hutan konservasi oleh korporasi besar dan pemodal yang selama ini kebal hukum. Kunjungan Menhan Sjafrie ke lokasi menjadi sinyal kuat bahwa negara mulai mengambil kembali kendali atas sumber daya alam strategis yang selama ini lepas dari pengawasan negara.
"Ini bukan sekadar pemasangan plang. Ini pernyataan tegas bahwa negara hadir untuk mengambil alih kembali kedaulatan atas kawasan konservasi yang dikuasai secara ilegal," tegas seorang pejabat Satgas PKH yang terlibat langsung dalam operasi.
65.000 Hektare Sawit Ilegal Akan Disita Negara
Dari luas total 81.700 hektare kawasan TNTN, lebih dari 65.000 hektare telah berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, mayoritas diduga milik korporasi besar yang melakukan ekspansi tanpa izin sah. Satgas mencatat hanya sekitar 13.700 hektare hutan primer yang masih bertahan.
"Kami telah memetakan wilayah-wilayah prioritas yang akan segera disita dan dikembalikan menjadi hutan konservasi," ujar Ketua Satgas Pelaksana, Jampidsus Kejagung RI Febrie Adriansyah, dalam konferensi pers terbatas.
Landasan Hukum: Gugatan Sudah Dimenangkan, Tapi Penegakan Macet
Kawasan ini sebenarnya telah menjadi subjek gugatan hukum sejak lama. Salah satu perkara yang paling mencolok adalah gugatan Yayasan Riau Madani terhadap PT Inti Indosawit Subur, anak usaha dari grup raksasa sawit yang diduga menguasai 1.200 hektare lahan di TNTN.
Gugatan tersebut dimenangkan hingga tingkat kasasi, namun hingga kini kebun sawit tetap beroperasi. Ini menunjukkan adanya kebuntuan dalam eksekusi hukum, dan menjadi salah satu alasan utama dibentuknya Satgas PKH lintas institusi.
Satgas ini melibatkan Jaksa Agung ST Burhanuddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta lembaga-lembaga strategis lainnya, untuk memastikan tidak ada lagi celah impunitas.
Aktivitas TNI dan Penyitaan Sudah Dimulai di Lapangan
Pagi ini, rombongan Satgas mendarat di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, dan langsung menuju ke Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, menggunakan helikopter. Di lokasi tersebut, Satgas mulai memasang plang penyitaan negara, serta melakukan penanaman pohon simbolik.
"Sudah ada spanduk larangan dan tentara di lokasi sejak dua hari lalu. Ini baru pertama kali operasi sebesar ini dilakukan di sini," kata Andi, warga setempat.
Ketegangan Sosial: Petani Kecil Terjepit antara Negara dan Korporasi
Namun di balik aksi tegas negara, terselip kecemasan di masyarakat. Banyak warga yang sejak satu atau dua dekade terakhir menggantungkan hidup dari kebun sawit di kawasan TNTN, tanpa pernah tahu bahwa lahan yang mereka kelola termasuk zona konservasi.
"Kami hanya petani kecil. Tanpa surat, tapi bukan penjahat. Yang besar-besar itu yang harusnya duluan ditindak," ujar Andi, menambahkan keresahan warga.
Pakar agraria dari Universitas Riau, Dr. Dewi Sartika, mengingatkan bahwa keberhasilan Satgas tidak hanya ditentukan oleh jumlah hektare yang disita, tetapi juga kemampuannya membedakan antara petani bertahan hidup dan pengusaha rakus yang merusak hutan.
Upaya Pemulihan Ekosistem: Bukan Lagi Sekadar Retorika?
Upaya penyelamatan TNTN sebenarnya bukan hal baru. Sejak Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) oleh KPK tahun 2015, hingga pembentukan Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) oleh Kementerian LHK tahun 2016, semuanya gagal mengatasi penguasaan ilegal.
Kini, dengan pendekatan militer-sipil-hukum secara terpadu, Satgas PKH memiliki instrumen penuh untuk mengeksekusi penyitaan, mengusir pelaku, dan memulihkan ekosistem TNTN yang merupakan habitat terakhir gajah Sumatera dan satwa dilindungi lainnya.
"Kami tidak ingin lagi melihat putusan pengadilan diabaikan, spanduk larangan dirobek, dan hutan dijarah korporasi. Satgas ini akan mencabut akar perusak hutan sampai ke sumbernya," tutup Febrie Adriansyah.
( Syd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar