Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Menteri PKP Maruarar Sirait Tegaskan: Rumah Subsidi Harus Berkualitas, Bukan Sekadar Luas

Sabtu, 07 Juni 2025 | Sabtu, Juni 07, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-07T05:07:27Z

 


CNews - JAKARTA — Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait memperingatkan bahwa luas bangunan bukan jaminan rumah layak huni. Ia menekankan bahwa kualitas konstruksi, komitmen pengembang, serta tata lingkungan jauh lebih krusial dalam menentukan kelayakan sebuah rumah, terutama dalam program rumah subsidi yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.


"Bagi saya bukan soal ukurannya saja. Tapi juga kualitas pengembangnya dan sebagainya. Itu yang paling penting," tegas Maruarar saat ditemui di Kantor Kementerian PKP, Jumat (6/6).

 

Pernyataan ini muncul seiring beredarnya draf revisi kebijakan yang tengah disusun pemerintah, yakni rencana pengurangan standar luas rumah subsidi, yang kini menuai pro dan kontra.


Ukuran Besar, Masalah Besar?


Dalam penjelasannya, Maruarar menyentil fakta di lapangan bahwa tak sedikit rumah subsidi dengan luas bangunan 60 meter persegi ternyata tidak layak huni, bahkan terseret dalam kasus hukum. Permasalahan tersebut umumnya berkaitan dengan pengembang yang abai terhadap spesifikasi teknis, pelanggaran izin mendirikan bangunan, hingga kegagalan menciptakan lingkungan hidup yang sehat.


“Ada rumah besar, tapi bocor, retak, atau dibangun di atas tanah bermasalah. Itu bukan solusi, itu menambah beban warga,” ujar Maruarar.


Draf Keputusan: Luas Rumah Akan Diperkecil, tapi Dibuka untuk Kritik Publik


Berdasarkan draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, pemerintah berencana merevisi standar rumah subsidi, yakni:


  • Rumah tapak: luas tanah minimal 25 m², maksimal 200 m²
  • Bangunan: minimal 18 m², maksimal 36 m²


Namun, Maruarar menegaskan bahwa kebijakan ini belum final. Pemerintah, kata dia, tidak akan mengambil keputusan secara sepihak, dan saat ini tengah melakukan proses sounding atau uji publik.


“Kami buka ruang seluas-luasnya untuk masukan. Ini belum keputusan, masih draf. Kami ingin keputusan ini berbasis pada kenyataan di lapangan,” ungkapnya.

 

Kesenjangan Hunian Masih Tinggi: 4 dari 10 Keluarga Tinggal di Rumah Tak Layak


Wacana reformasi rumah subsidi ini tidak muncul dalam ruang hampa. Data BPS 2022 mencatat hanya 60,66 persen rumah tangga Indonesia tinggal di rumah yang layak huni. Artinya, sekitar 4 dari 10 keluarga Indonesia masih menetap di hunian yang tidak memenuhi standar keselamatan, pencahayaan, sanitasi, atau ventilasi.


Situasi ini mencerminkan kegagalan struktural dalam distribusi akses terhadap hunian bermutu, meski program rumah subsidi sudah berjalan puluhan tahun.


Misi Maruarar: Rumah Subsidi sebagai Alat Pemutus Kemiskinan, Bukan Pemicu Masalah Baru


Maruarar mengisyaratkan reorientasi kebijakan perumahan subsidi, yakni dengan menyasar kualitas sebagai parameter utama, bukan hanya angka-angka ukuran.


“Rumah subsidi harus menjadi jalan keluar, bukan jalan buntu. Kita tidak boleh kompromi terhadap kualitas hanya karena mengejar target angka,” ujar politisi yang akrab disapa Ara itu.

 

Ia menegaskan bahwa pihaknya akan terus menggandeng para pemangku kepentingan, termasuk pengembang yang berkomitmen, pakar perumahan, serta komunitas warga penerima subsidi, dalam proses finalisasi kebijakan ini.


Catatan Kritis: Akankah Reformasi Ini Menjadi Titik Balik?


Revisi kebijakan rumah subsidi ini berpotensi menjadi titik balik penting dalam sistem hunian nasional, jika dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Namun, jika hanya berhenti pada pengurangan luas tanpa penguatan regulasi mutu dan pengawasan, kebijakan ini bisa berujung pada penurunan kualitas hidup jutaan warga miskin kota.


Kementerian PKP di bawah Maruarar Sirait kini diuji: berani menghadapi tekanan pasar properti, atau terjebak pada kompromi yang mengorbankan hak dasar warga negara atas hunian yang layak. ( Tim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update