CNews| Makassar, 13 Juni 2025 — Aroma dugaan mafia tanah kembali menyeruak di Kota Makassar. Kali ini, sorotan publik tertuju pada sertifikat hak milik (SHM) Nomor 21348 atas nama Muh. Ridwan Patta Gajang yang disebut berdiri di atas lahan milik sah Sdr. Abdillah, berdasarkan Akta Jual Beli resmi yang telah lama dimilikinya.
Menanggapi temuan ini, Dewan Pimpinan Pusat LSM Gempa Indonesia bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yudha Putra menyatakan siap menggugat secara resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar. Mereka menuding bahwa proses penerbitan sertifikat tersebut sarat kejanggalan administratif dan berpotensi melanggar asas legalitas serta prinsip keadilan agraria.
DPP Gempa Indonesia: “Ini Dugaan Mafia Tanah yang Terstruktur”
Wakil Ketua Umum DPP Gempa Indonesia, Ari Paletteri, menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan mentolerir dugaan permainan hukum yang mencederai hak-hak rakyat kecil. Ia menyebut kasus ini sebagai contoh dugaan praktik mafia pertanahan yang terstruktur dan terindikasi melibatkan oknum tertentu di lembaga negara.
“Kami mendesak PTUN dan BPN segera membuka semua proses administratif penerbitan SHM No.21348. Jika benar ada manipulasi data atau pengabaian terhadap hak milik sebelumnya, maka sertifikat itu harus dibatalkan. Ini bukan hanya soal satu orang, tapi menyangkut kepercayaan publik terhadap sistem pertanahan nasional,” tegas Ari kepada media
LBH Yudha Putra: “Kami Sudah Kantongi Bukti Awal yang Kuat”
Tim kuasa hukum LBH Yudha Putra, yang diwakili oleh Ridwan Basri, SH dan Irfan, SH, mengonfirmasi bahwa proses hukum akan segera dimulai. Mereka mengklaim telah mengantongi berkas-berkas legalitas tanah milik Abdillah, termasuk dokumen AJB dan bukti penguasaan fisik.
“Kami temukan indikasi penerbitan SHM tanpa proses verifikasi lapangan yang sahih. Ini cacat hukum, dan secara prinsip bisa dibatalkan oleh pengadilan. Kami juga akan menguji integritas dan tanggung jawab lembaga yang menerbitkan sertifikat tersebut,” ujar Ridwan Basri.
Gugatan yang disiapkan LBH Yudha Putra akan menyasar dua objek: proses administratif di BPN serta legalitas SHM No.21348 yang diduga diterbitkan tanpa mencoret atau mengakui status kepemilikan sah sebelumnya.
Korban: “Tanah Saya Diambil, Saya Diperlakukan Seolah Tak Punya Hak”
Pihak yang dirugikan, Sdr. Abdillah, menyatakan bahwa dirinya telah menguasai lahan tersebut secara sah berdasarkan jual beli yang dilakukan bertahun-tahun silam. Ia mengaku terkejut ketika mengetahui tanahnya telah disertifikatkan atas nama orang lain.
“Saya beli tanah ini dengan cara sah, ada AJB, ada saksi, bahkan sudah saya kuasai secara fisik. Tapi sekarang, ada orang datang dengan sertifikat baru yang tidak pernah saya ketahui prosesnya. Saya sangat dirugikan secara moril dan materiil,” ujar Abdillah yang kini tengah mengupayakan keadilan melalui jalur hukum.
Catatan Investigatif: Dugaan Kejanggalan Proses Sertifikasi
Tim investigasi redaksi mencatat beberapa indikasi kejanggalan yang layak ditelusuri lebih dalam:
- Tidak adanya pencabutan atau pengakuan terhadap AJB lama atas nama Abdillah.
- Tidak ditemukan bukti musyawarah atau ganti rugi dalam proses penerbitan SHM baru.
- Sertifikat diterbitkan tanpa proses pengumuman resmi yang lazim dilakukan dalam konflik kepemilikan.
- BPN belum memberikan penjelasan publik terkait dasar penerbitan SHM No.21348.
Desakan Transparansi: BPN Diminta Audit Ulang
DPP Gempa Indonesia mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar untuk segera melakukan audit internal terhadap proses penerbitan sertifikat tanah yang disengketakan. Mereka juga meminta agar proses-proses hukum serupa ke depan disertai dengan pemeriksaan fakta lapangan yang objektif dan dokumentasi yang terbuka untuk publik.
“Kami tidak akan berhenti sampai ada keadilan. Jika perlu, kami bawa ini ke Ombudsman dan Komnas HAM. Mafia tanah harus diberantas dari akar-akarnya,” pungkas Ari Paletteri. ( Tim Reski)
Redaksi
CNews akan terus memantau dan mengawal jalannya proses hukum ini. Kasus ini menjadi pengingat bahwa kekuatan sertifikat tidak boleh menginjak legalitas dasar dan hak historis warga.
Jika pihak yang disebut dalam pemberitaan ini merasa keberatan, redaksi membuka hak jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar