Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

1.312 Hektare Lahan Keturunan Raja Tanah Jawa Simalungun Jadi Rebutan , Dugaan Perampasan Hak Waris Oleh PT Kwala Gunung Dan Warga Jadi Sorotan

Jumat, 13 Juni 2025 | Jumat, Juni 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-13T13:25:20Z


CNews | Simalungun, 11 Juni 2025 — Eksekusi lahan seluas 1.312 hektare di Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, kembali memicu gejolak sosial dan membuka luka sejarah yang belum sembuh. Ratusan warga dari tiga desa memblokade kawasan Nagori Pokan Baru, menolak langkah Pengadilan Negeri Simalungun yang hendak melaksanakan konstatering dan sita eksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan PT Kwala Gunung.



Namun di balik putusan hukum tersebut, konflik ini mengungkap fakta yang lebih gelap: dugaan perampasan hak waris keturunan kerajaan Tanah Jawa Simalungun, kriminalisasi warga penggarap, dan pengalihan tanah negara kepada korporasi secara tertutup yang disebut-sebut sebagai skandal agraria terselubung.



Warga: “Kami Dikriminalisasi demi Korporasi”


Heralius Gultom, tokoh Komunitas Petani Dosroha, menyebut keputusan MA tidak mencerminkan keadilan substantif. Ia mengklaim warga telah mengelola tanah itu jauh sebelum perusahaan masuk, bahkan sebagian lahan pernah digunakan untuk program reboisasi era 1970-an.


" Mereka datang dengan surat kuasa yang tak pernah dibuka ke publik, menuding masyarakat mencuri tanah sendiri. Sementara ketua kelompok tani sudah tiga kali dipenjara. Dua puluh dua warga lain dituduh mencuri hasil kebun. Ini bukan penegakan hukum, ini kriminalisasi demi legalitas korporasi,” ucap warga yang ikut aksi tersebut 

 

Keturunan Raja Tanah Jawa: “Ini Warisan Leluhur, Bukan Tanah Negara”


Pernyataan warga dibantah keras oleh Jumigan Sinaga, keturunan langsung Tuan Djintama Sinaga, Raja Tanah Jawa Simalungun. Ia menyebut tanah tersebut adalah warisan sah keluarga kerajaan, yang pernah dipinjamkan kepada Dinas Kehutanan pada 1975 seluas 667 hektare, bukan diserahkan.


“Negara gagal jujur. Lahan itu dipinjamkan untuk reboisasi, bukan dilepas. Kami punya dokumen dan notulen resmi arsip negara. Tapi tanpa sepengetahuan ahli waris, tanah itu tiba-tiba beralih ke PT Kwala Gunung. Itu bukan jual beli, itu penyelundupan agraria,” tegas Jumigan yang hadir menunjukkan akta waris dan bukti surat tanah keluarga kepada media 

 

Ia bahkan menyebut sebagian warga sempat datang diam-diam untuk meminta ganti rugi, mengakui lahan itu adalah milik ayahnya. Namun belakangan, mereka berbalik mengklaim sebagai pemilik sah.


Dokumen Alih Lahan Diduga Tidak Pernah Dipublikasikan


Salah satu poin paling janggal dalam konflik ini adalah absennya transparansi proses alih lahan dari negara ke PT Kwala Gunung. Berdasarkan investigasi redaksi, surat kuasa perusahaan dan dokumen pelepasan tanah dari Dinas Kehutanan belum pernah dibuka ke publik, melanggar asas keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008.


Notaris Wira Susanty Manalu, yang mendampingi pihak Sinaga dalam penelusuran dokumen tahun 2017, disebut telah menyimpan salinan dokumen peminjaman tanah oleh negara. Bila terbukti tanah tersebut dialihkan tanpa dasar hukum yang sah, maka negara berpotensi terlibat dalam praktik maladministrasi agraria dan persekongkolan korporatif.


Sidang PN Dibubarkan Setelah Bukti Waris Diperlihatkan


Pada sidang di PN Simalungun, 12 Februari 2025, ketegangan mencapai puncaknya. Majelis hakim disebut membubarkan sidang setelah dokumen bukti waris ditunjukkan langsung oleh Jumigan Sinaga. Meski sidang dibubarkan, proses eksekusi terus berlanjut, diduga atas tekanan eksternal.


“Kami bukan hanya ahli waris, kami penjaga sejarah. Tanah ini bukan hanya lahan, tapi identitas leluhur. Negara tidak bisa sembarangan mengalihkannya. Jika dipaksakan, ini sama dengan merampas warisan adat yang sah secara hukum dan konstitusi,” ungkap Jumigan emosional.


Negara Dianggap Absen, Hukum Dianggap Berpihak


Kegagalan negara dalam memediasi dan mengaudit seluruh proses penguasaan tanah menjadi pemicu utama konflik berkepanjangan ini. Sengketa lahan 1.312 hektare ini tak hanya menyingkap konflik horisontal antara warga dan korporasi, tetapi juga konflik vertikal antara rakyat, bangsawan adat, dan institusi negara.


Jika tidak ditangani secara adil, konflik ini berpotensi menjalar menjadi krisis kepercayaan terhadap institusi hukum, agraria, dan pemerintahan lokal.


Catatan Redaksi:

  • Legalitas surat kuasa PT Kwala Gunung belum pernah dibuka ke publik.
  • Dokumen peminjaman tanah 1975 tercatat sebagai arsip resmi di Dinas Kehutanan.
  • Tidak ada transparansi proses pelepasan dan peralihan hak atas tanah tersebut.
  • Majelis hakim disebut membubarkan sidang saat bukti waris ditampilkan.
  • Tidak ada audit administratif dari Pemkab dan Kementerian ATR/BPN atas kasus ini.


Redaksi CNews menyerukan kepada Pemerintah Pusat, Kementerian ATR/BPN, Ombudsman RI, dan Komnas HAM untuk turun tangan langsung dan membuka audit menyeluruh atas konflik ini. Negara harus hadir bukan sebagai pelayan korporasi, tapi sebagai penjamin keadilan agraria yang transparan dan beradab.


Jika pihak-pihak yang disebut merasa dirugikan, redaksi membuka hak jawab sesuai Pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999.

( Tim - Red) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update