CNews - SORONG — Kebijakan internal yang melarang pengambilan dokumentasi—foto, video, maupun audio—baik di dalam maupun di luar ruang sidang, yang diberlakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) Sorong, YM. Beauty Deitje Elisabeth Simatauw, S.H., M.H., menuai gelombang kritik tajam. Larangan tersebut diumumkan dalam wawancara terbatas di lingkungan PN Sorong pada Rabu (11/6/2025), tanpa penjelasan hukum yang rinci.
Kebijakan ini dinilai mencederai prinsip dasar keterbukaan peradilan yang dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, menyebut larangan tersebut sebagai bentuk pembungkaman fungsi kontrol publik dan kemunduran serius dalam upaya reformasi peradilan.
“Kebijakan Ketua PN Sorong itu jelas keliru dan bertentangan dengan semangat demokrasi. Pengadilan adalah ruang publik, bukan ruang privat. Pembatasan dokumentasi oleh media, tanpa dasar hukum yang jelas, sama saja dengan menutup mata publik terhadap proses penegakan hukum,” tegas Lalengke dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (11/6).
Ia menekankan bahwa dokumentasi pers di pengadilan merupakan bagian dari hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta merupakan perwujudan dari asas akuntabilitas lembaga negara.
“Kita mendesak Mahkamah Agung untuk segera mengevaluasi kebijakan yang menyimpang ini. Jangan sampai ruang-ruang pengadilan berubah menjadi zona abu-abu yang tidak bisa diawasi publik. Penegakan hukum harus bersifat transparan dan akuntabel,” lanjutnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PN Sorong belum memberikan keterangan resmi terkait dasar yuridis pelarangan tersebut. Namun dalam pernyataan sebelumnya, Ketua PN Sorong menyebut bahwa kebijakan ini diterapkan demi menjaga ketertiban dan integritas proses persidangan.
Sementara itu, sejumlah pakar hukum, akademisi, dan aktivis kebebasan pers menilai alasan tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran absolut untuk melarang peliputan oleh jurnalis. Menurut mereka, dokumentasi yang dilakukan media—dengan tetap mematuhi batasan hukum dan etika jurnalistik—justru menjadi instrumen penting dalam memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan di ruang sidang.
Langkah PN Sorong ini juga dipandang kontraproduktif terhadap semangat reformasi lembaga peradilan yang sejak lama digaungkan Mahkamah Agung, termasuk melalui berbagai regulasi internal seperti SK KMA No. 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi di Pengadilan, yang menegaskan prinsip aksesibilitas dan transparansi.
Kritik luas terhadap kebijakan ini diharapkan menjadi momentum koreksi nasional. Para pengamat mendesak agar Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melakukan peninjauan menyeluruh terhadap kebijakan-kebijakan lokal di lingkungan peradilan yang berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.( Tim Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar