CNEWS - Jenewa | Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sidang tahunan WHO yang digelar Senin (19/5) di Jenewa, mengeluarkan peringatan keras: lebih dari dua juta warga Gaza kini berada di ambang kelaparan akut. Ia menuding blokade Israel yang telah berlangsung lebih dari dua bulan sebagai biang kerok krisis kemanusiaan yang "mengubah Gaza menjadi kuburan terbuka."
“Bertonton bantuan pangan tertahan di perbatasan—hanya beberapa menit dari Gaza—sementara anak-anak kelaparan dan rumah sakit kolaps,” ujar Tedros, dalam pernyataan paling tajamnya sejauh ini terhadap situasi di wilayah yang terus digempur sejak Oktober 2023.
Kelaparan Sistematis dan Kolapsnya Layanan Kesehatan
Tedros menjelaskan, serangan udara yang semakin intensif, evakuasi paksa, dan pembatasan wilayah operasi kemanusiaan telah mematikan akses terhadap makanan, air bersih, serta layanan kesehatan. “Warga Gaza kini meninggal bukan hanya karena bom, tetapi juga karena penyakit yang semestinya dapat dicegah jika saja obat-obatan bisa masuk,” ujarnya.
Serangan terhadap rumah sakit, kata dia, tak hanya menghancurkan infrastruktur vital, tetapi juga “menciptakan teror” sehingga warga takut mencari pertolongan medis. Ia menyerukan agar negara-negara anggota WHO bersedia menerima pasien dari Gaza dan menekan Israel untuk mengizinkan evakuasi medis serta distribusi bantuan secara aman.
Gaza di Ambang Kehancuran Total
Sementara itu, Kantor Media Pemerintah di Gaza menyebut wilayah tersebut kini memerlukan minimal 500 truk bantuan kemanusiaan dan 50 truk bahan bakar per hari agar tak lumpuh total. Namun, angka ini jauh dari kenyataan. Pada hari ke-79 sejak blokade total dimulai, Israel hanya mengizinkan masuk bantuan dalam jumlah terbatas, yang bahkan kerap tertahan berhari-hari di perbatasan Rafah dan Kerem Shalom.
“Gaza kini tanpa listrik, tanpa air, tanpa roti, tanpa rumah sakit. Dan dunia hanya menyaksikan,” demikian bunyi pernyataan resmi otoritas Gaza, yang menyebut keterlambatan dan kelambanan respons dunia internasional sebagai “noda hitam dalam nurani global.”
Kelaparan Dijadikan Senjata Perang
Kelaparan kini dipandang bukan sekadar dampak konflik, tapi sebagai senjata perang sistematis. Para pengamat HAM menuding Israel sengaja menggunakan blokade sebagai alat pemusnahan perlahan (slow genocide) terhadap 2,4 juta warga sipil yang terperangkap di Gaza. Laporan terakhir mencatat lebih dari 174.000 warga Palestina tewas atau terluka, dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Sebanyak 11.000 lebih masih hilang.
Meski Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini menyatakan akan mengizinkan “bantuan pangan dasar,” banyak pihak menyebut langkah itu terlambat, terbatas, dan tak sebanding dengan skala krisis.
Dunia Harus Bertindak—Bukan Hanya Menyatakan Keprihatinan
Tekanan internasional kini meningkat. Namun, seruan demi seruan belum membuahkan perubahan nyata. WHO, PBB, dan berbagai lembaga kemanusiaan menyerukan tindakan nyata, bukan sekadar diplomasi lesu dan kecaman retoris.
“Warga Gaza tidak butuh simpati. Mereka butuh akses air, makanan, obat, dan perlindungan. Sekarang,” tutup Tedros dengan nada penuh desakan. ( Tim - Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar