Jakarta – CNews | Polemik seputar status hukum direksi dan komisaris BUMN dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN kembali mengemuka. Meski dalam pasal 9G UU tersebut disebutkan bahwa mereka bukan merupakan penyelenggara negara, sejumlah pakar hukum menegaskan bahwa aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetap memiliki kewenangan untuk menjerat mereka apabila terbukti merugikan keuangan negara.
Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, menilai celah hukum masih terbuka lebar untuk menyeret pejabat BUMN yang terlibat tindak pidana korupsi. Menurutnya, kendati dalam UU BUMN terbaru para pejabat korporasi negara tak lagi disebut sebagai penyelenggara negara, namun prinsip kerugian keuangan negara tetap menjadi dasar kuat bagi aparat hukum melakukan penindakan.
“Direksi dan komisaris BUMN bisa tetap diproses hukum bila dalam praktik bisnisnya terjadi penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Terlebih bila ada persekongkolan atau permufakatan jahat, terutama dalam pengelolaan Penyertaan Modal Negara (PMN),” ujar Chandra dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/5/2025).
Ia menambahkan, doktrin business judgment rule tidak bisa dijadikan tameng apabila keputusan bisnis yang diambil menyimpang dari prinsip kepatutan dan berdampak merugikan negara.
KPK Yakin Tetap Bisa Bertindak
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, turut menanggapi kontroversi tersebut. Ia menegaskan bahwa meskipun pasal dalam UU BUMN menyatakan direksi dan komisaris bukan penyelenggara negara, KPK tetap berwenang memproses mereka. Dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Dalam Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 ditegaskan bahwa pejabat lain yang memiliki fungsi strategis juga termasuk penyelenggara negara, dan penjelasannya secara eksplisit menyebut direksi dan komisaris BUMN.
“Secara hukum, asas lex superior derogat legi inferiori berlaku di sini. UU 28/1999 sebagai aturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan UU BUMN yang baru karena substansi UU 28/1999 menyangkut prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang bersih dari KKN,” tegas Fitroh kepada wartawan, Selasa (6/5).
Dukungan dari Praktisi Antikorupsi
Senada, Ketua IM57+ Institute dan mantan penyidik muda KPK, Lakso Anindito, menegaskan bahwa perubahan dalam UU BUMN tidak mencabut ketentuan dalam UU 28/1999, sehingga kewenangan KPK tetap sah.
“Direksi dan komisaris BUMN masih termasuk penyelenggara negara dalam konteks hukum antikorupsi. Selama UU 28/1999 belum dicabut atau direvisi, maka penegak hukum tetap bisa bekerja,” jelas Lakso.
Ia juga mendorong adanya safeguard antikorupsi yang lebih ketat di lingkungan BUMN agar UU baru tidak menjadi celah penyalahgunaan kekuasaan.
“Mengelola keuangan negara dalam skala besar menuntut tanggung jawab tinggi. Perlu pengawasan dan kepatuhan yang kuat, bukan pelonggaran hukum,” pungkasnya.
( Timred)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar