Jejak Peradaban Tertua Sumatera yang Nyaris Terhapus Sejarah Dalam Tragedi Revolusi Sosial: Satu Generasi Hilang
CNews - SIMALUNGUN – Di jantung Sumatera Utara, jauh sebelum munculnya Singosari atau Majapahit, berdiri sebuah kerajaan tua bernama Nagur. Didirikan sekitar tahun 560 Masehi, Nagur merupakan cikal bakal peradaban suku Simalungun dan rumah bagi empat marga utama: Damanik, Purba, Saragih, dan Sinaga. Namun kini, kerajaan yang pernah menjadi pusat budaya, politik, dan spiritual ini nyaris terhapus dari peta sejarah nasional.
Nagur bukan hanya lebih tua dari banyak kerajaan besar di Jawa, tetapi juga menyimpan kisah pilu tentang penghancuran sistematis: dari wabah, migrasi, hingga pembantaian brutal dalam Revolusi Sosial.
Dari India Selatan ke Sungai Bahbolon
Sejarawan dan budayawan menelusuri jejak awal Nagur hingga ke bangsa pelaut dari India Selatan. Mereka mendarat di pesisir barat Sumatera (kawasan Batu Bara), lalu menelusuri Sungai Bahbolon dan Sungai Jepulu hingga menetap di dataran tinggi yang kini dikenal sebagai Kota Perdagangan, Simalungun.
Di puncak tertinggi kawasan itu berdiri Bukit Keramat, yang diyakini sebagai pusat istana Raja Damanik. Penelitian kolonial Belanda oleh J. Demang menemukan pecahan keramik dan porselen berusia hingga 2.000 tahun di sana — bukti arkeologis keberadaan istana kuno Nagur.
Wabah dan Migrasi: Dari Kampung Kuta ke Samosir
Wabah mematikan memaksa eksodus besar-besaran ke timur, menuju danau luas yang kini dikenal sebagai Danau Toba. Para pengungsi menetap di pulau yang mereka namai Sa-Misir (“Tanah Harapan”), kini Pulau Samosir. Setelah dua generasi, Raja Damanik mengeluarkan fatwa: seluruh rakyat diminta kembali ke Bukit Keramat, tanah asal mereka.
Sebagian besar kembali. Namun beberapa kelompok dari marga Damanik, Sinaga, Purba, dan Saragih memilih tetap di Samosir dan mendeklarasikan diri sebagai bagian dari Batak Toba, memutus silsilah mereka dari Nagur. Sejak saat itu, terjadi perpecahan identitas yang terus membekas hingga kini.
Dari Nagur ke Maropat: Empat Raja, Satu Darah
Akibat serangan dan disintegrasi, Nagur terpecah menjadi empat kerajaan (Maropat):
- Kerajaan Damanik di Pematang Siantar (bekas pemandian raja)
- Kerajaan Sinaga di Tanah Jawa (mencakup Huta Bayu Raja hingga Asahan)
- Kerajaan Purba Tambak di Dolok Silo
- Kerajaan Purba Pakpak di Kecamatan Purba
Dari keempatnya, hanya Purba Pakpak yang masih memiliki kompleks istana lengkap: rumah raja, panglima, dan permaisuri. Kelak, konfederasi ini berkembang menjadi Tujuh Kerajaan Simalungun, termasuk Raja Raya (Purba Saragih) dan Raja Girsang.
Revolusi Sosial: Penghabisan Satu Generasi
Tragedi terbesar Kerajaan Simalungun terjadi di masa Revolusi Sosial pasca-kemerdekaan. Kelompok bersenjata radikal yang dikenal sebagai Harimau Liar melakukan pembantaian sistematis terhadap seluruh keturunan raja-raja Simalungun. Istana dibakar, harta dirampas, dan bangsawan dibunuh atau melarikan diri ke Batu Bara, Tanjung Balai, bahkan menyembunyikan marga mereka.
Akibatnya, satu generasi emas kerajaan punah, dan sejarahnya tercerai. Dalam trauma panjang itu, lahirlah organisasi seperti HIMAPSI (Himpunan Mahasiswa Simalungun) untuk membangun kembali identitas dan regenerasi kepemimpinan adat.
Politik, Konferensi Meja Bundar, dan Penghapusan Sejarah
Setelah Indonesia merdeka, Simalungun tidak langsung bergabung dengan NKRI. Bersama kerajaan lain seperti Deli dan Pasai, Simalungun ikut membentuk Negara Sumatera Timur, dan mengirim Raja Kaliamsyah Sinaga ke Konferensi Meja Bundar (KMB).
Namun dengan diplomasi Wakil Presiden Haji Adam Malik, akhirnya Simalungun bergabung ke NKRI. Sejak saat itu, sejarahnya mulai dihapus dari kurikulum nasional — tersisa hanya dalam cerita rakyat, tradisi lisan, dan penelitian terbatas.
Tanah Subur yang Terampas
Penelitian Belanda menyebut tanah Simalungun sebagai yang paling subur di Nusantara, hasil endapan letusan supervolcano Toba. Karena itu, sejak kolonialisme, tanah-tanah ini dijadikan lahan perkebunan besar oleh penguasa Belanda, dan kini dikuasai oleh PTPN 3 dan PTPN 4.
Ironisnya, masyarakat asli — pewaris sah Kerajaan Nagur — justru kehilangan akses terhadap warisan leluhurnya, baik secara ekonomi maupun budaya.
Kesimpulan: Menolak Dihapus, Menuntut Keadilan Sejarah
Kerajaan Nagur bukan sekadar kisah lokal, tapi bagian dari fondasi awal peradaban Sumatera. Warisannya tidak hanya berupa keramik kuno atau tanah vulkanik, tetapi juga identitas kolektif masyarakat Simalungun yang masih merindukan kejayaannya.
Sudah saatnya sejarah ini diangkat kembali — bukan hanya demi keadilan historis, tetapi juga demi kebangkitan budaya, pendidikan, dan politik masyarakat Simalungun. Sejarah tidak boleh lagi dikubur. ( reporter Rony CNews )
Nagur adalah Simalungun. Simalungun adalah Nusantara.
(Bersambung .... )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar