Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


Haidar Alwi: REE Senjata Strategis Masa Depan, Indonesia Jangan Jadi Penonton Lagi

Senin, 05 Mei 2025 | Senin, Mei 05, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-05T12:27:29Z


CNEWS  - Jakarta, 5 Mei 2025 – Di tengah pergeseran kekuatan global menuju energi bersih dan dominasi teknologi tinggi, keberadaan Rare Earth Elements (REE) atau unsur tanah jarang makin menjadi komoditas strategis yang diperebutkan dunia. Ironisnya, Indonesia—yang diperkirakan menyimpan cadangan besar REE—masih tertinggal dalam pengelolaannya.


R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh lagi menjadi eksportir bahan mentah dan penonton revolusi industri global. “Kini di tangan kita ada bahan dasar peradaban digital dan energi masa depan. Kita tidak boleh lengah,” tegasnya.


Logam Kecil, Dampak Geopolitik Besar


REE merupakan kelompok 17 unsur logam penting yang menjadi fondasi teknologi modern seperti mobil listrik, turbin angin, baterai, radar militer, hingga satelit. Satu unit jet tempur F-35, misalnya, membutuhkan lebih dari 400 kg REE.


Meski tidak benar-benar langka, kandungan ekonomis REE yang tinggi sulit ditemukan. Hal ini menjadikan REE sebagai logam yang bernilai strategis dan sulit digantikan. Saat ini, Tiongkok mendominasi pasar global, sementara Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang berlomba mengamankan pasokannya.


Potensi Besar Indonesia yang Masih Tertidur


Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan REE dalam bentuk mineral monazite dan xenotime, tersebar di beberapa wilayah, antara lain:


  • Bangka Belitung: kaya akan monazite, produk ikutan tambang timah.
  • Kalimantan Barat dan Tengah: mengandung xenotime dalam jumlah besar.

Estimasi menyebutkan total cadangan bijih xenotime di Indonesia mencapai lebih dari 6,4 miliar ton, dan monazite sekitar 52 juta ton.


“Negara lain sibuk mengamankan logam ini, kita justru belum menyentuhnya secara serius. Ini aset geopolitik yang bisa mengubah posisi Indonesia di peta dunia,” kata Haidar Alwi.


Teknologi Ekstraktif: Tantangan atau Kesempatan?


Proses ekstraksi REE sangat kompleks, mulai dari cracking, pelindian kimia, hingga pemisahan ion tingkat tinggi. Selain itu, kandungan unsur radioaktif seperti thorium dan uranium menambah tantangan dalam pengolahan yang aman dan berkelanjutan.


Namun bagi Haidar Alwi, ini bukan alasan untuk mundur. “Justru di sinilah peran negara: membangun pusat riset nasional, mendorong transfer teknologi, dan menyiapkan SDM unggul dalam metalurgi, geologi, dan kimia industri,” jelasnya.


REE dan Pertaruhan Kedaulatan Teknologi


REE bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi senjata strategis global. Banyak negara mengkategorikannya sebagai “critical raw material”, setara dengan minyak dan gas.


“Jika kita tidak mengelola REE sendiri, kita akan terus tergantung pada negara lain untuk teknologi, dan itu berbahaya,” ujar Haidar Alwi. Ia menyebut Indonesia sebagai pemain potensial di Indo-Pasifik, yang harus berani mengambil peran sentral dalam rantai pasok teknologi.


Dari Hilirisasi ke Kemandirian Industri


Haidar Alwi menyoroti kegagalan hilirisasi masa lalu yang hanya mengekspor bahan mentah. Ia mendorong tiga agenda besar untuk kemandirian REE nasional:


  1. Pembangunan pabrik pemurnian REE (smelter teknologi tinggi)
  2. Industri magnet permanen dan komponen teknologi dalam negeri
  3. Kemitraan global yang adil dan berbasis transfer teknologi

“Kita bisa jadi produsen turbin, baterai, dan radar, bukan cuma penjual bijih. Itulah masa depan yang harus kita ciptakan,” tandasnya.


Rumus Strategi Nasional REE: R-E-E


Sebagai langkah konkret, Haidar Alwi menawarkan formula strategis:


  • R – Riset: Bangun pusat R&D REE dengan dukungan negara
  • E – Eksplorasi: Pemetaan komprehensif dari Aceh hingga Papua
  • E – Ekstraksi: Kembangkan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan

Formulasi ini dinilai lebih operasional daripada hanya membentuk badan formal baru.


Kedaulatan Teknologi Dimulai dari REE


“Jika kita gagal mengelola REE hari ini, kita akan mengemis teknologi di masa depan,” tegas Haidar.


Ia menutup dengan pesan kuat: “Kedaulatan bukan retorika. Ia harus dibuktikan lewat kebijakan, regulasi, dan keberanian mengambil alih kendali atas sumber daya strategis kita sendiri.”


Di tengah ketegangan global dan ketidakpastian geopolitik, Indonesia menghadapi pilihan historis: menjadi lumbung REE dunia yang dikuasai asing, atau menjadi pusat kekuatan teknologi Asia dengan REE sebagai fondasinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update