CNEWS - Tebing Tinggi – Penanganan perkara dugaan penganiayaan yang menyeret nama Satam JM, seorang jurnalis sekaligus anggota Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI), kini menjadi sorotan tajam. Pemanggilan klarifikasi oleh Polres Tebing Tinggi dinilai sarat kejanggalan dan terkesan dipaksakan, hingga memunculkan dugaan intimidasi terhadap terlapor.
Laporan pengaduan atas nama Anggraini terregistrasi dalam Surat Nomor: B/580/III/RES.1.24/2025/RESKRIM, tertanggal 21 Maret 2025. Dalam surat itu, Satam JM dituduh melakukan penganiayaan pada Jumat, 14 Maret 2025, sekitar pukul 15.30 WIB di Dusun II, Desa Paya Lombang, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai. Dasar hukum yang dirujuk dalam surat tersebut antara lain:
Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan,
Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) KUHP,
UU No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019,
Laporan Polisi No. LP/B/139/III/2025/SPKT/POLRES TEBING TINGGI/POLDA SUMUT,
Surat Perintah Penyelidikan No. SP.LIDIK/143/III/RES.124/2025/RESKRIM.
Namun, fakta janggal muncul dalam surat panggilan kedua tertanggal 17 April 2025. Meski tanggal dan waktu klarifikasi tetap sama, lokasi kejadian dalam surat berubah menjadi Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai. Perbedaan data ini memunculkan indikasi kuat ketidak
konsistenan administratif dan dugaan pelanggaran prosedur oleh pihak kepolisian.
Kuasa hukum Satam JM, Hendra Prasetyo Hutajulu, SH, MH, secara tegas membantah tudingan tersebut. Ia menyatakan bahwa kliennya saat kejadian tengah berada di luar kota dalam rangka tugas jurnalistik.
“Klien kami tidak berada di lokasi saat peristiwa terjadi. Tuduhan ini tidak berdasar, mengarah pada pencemaran nama baik, dan patut diduga sebagai bentuk pemaksaan hukum. Kami akan tempuh jalur hukum ke Polda Sumut serta laporkan ke Divisi Propam,” tegas Hendra, Senin (21/4/2025).
Hendra juga mengkritik Polres Tebing Tinggi yang dinilai mengabaikan prinsip Restoratif Justice, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020. Ia menegaskan, keterlibatan aparat desa dan fungsi Bhabinkamtibmas seharusnya menjadi prioritas dalam penanganan konflik masyarakat yang bersifat personal.
Sementara itu, hingga berita ini ditayangkan, Kapolres Tebing Tinggi AKBP Simon Paulus belum memberikan tanggapan meskipun telah dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp ke nomor pribadinya (0821-6398-XXXX).
Kritik terhadap kinerja Polres Tebing Tinggi juga datang dari Rudianto Purba, Pemimpin Redaksi GnewsTV.id. Ia menyayangkan lambannya penanganan laporan dugaan penganiayaan yang ia buat atas nama Abdul Wahab Sinambela, warga Jalan K.F. Tandean, Kelurahan Bandar Sakti, Kecamatan Bajenis, Kota Tebing Tinggi. Hingga kini, polisi belum juga menetapkan tersangka ataupun menahan pelaku.
“Kami heran, laporan kami lebih dulu masuk, namun belum ada progres hukum. Sementara, laporan yang janggal dan sarat kejanggalan diproses dengan cepat. Ini menimbulkan tanda tanya besar,” ujar Rudianto.
Kasus ini pun menuai reaksi luas dari publik, khususnya kalangan pers dan praktisi hukum di Sumatera Utara. Mereka mendesak penegakan hukum yang adil, akuntabel, serta menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan transparansi prosedur hukum. ( Tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar