CNEWS - Teror kepala babi yang dikirimkan ke kantor TEMPO untuk wartawan Francisca Christy Rosana telah memicu polemik luas. Bukan hanya karena aksi teror itu sendiri, tetapi juga karena pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, yang menanggapinya dengan komentar kontroversial: “Dimasak saja.”
Komentar itu langsung memancing reaksi keras, terutama dari oposisi yang menjadikannya sebagai amunisi politik untuk menyerang pemerintah. Isu yang semula terkait ancaman terhadap kebebasan pers, kini berkembang menjadi perdebatan politik yang mengguncang Istana.
Sorotan Media Internasional dan Respons Presiden Prabowo
Tak hanya di dalam negeri, isu ini turut mendapat perhatian dari media internasional. AFP, Strait Times, Asia Sentinel, hingga UCA News melaporkan kejadian ini dengan narasi yang menyoroti dugaan pengekangan kebebasan pers di Indonesia.
Melihat eskalasi yang semakin liar, Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan. Ia menegaskan bahwa pejabat negara harus lebih berhati-hati dalam berkomunikasi dan tidak memberikan pernyataan yang dapat memicu kontroversi. Namun, pertanyaan besarnya: Apakah teror ini benar-benar ancaman serius terhadap kebebasan pers, atau hanya isu yang sengaja diledakkan untuk kepentingan tertentu?
Teror Kepala Babi: Ancaman Nyata atau Sensasi Media?
Fakta sejarah mencatat bahwa berbagai bentuk kekerasan terhadap wartawan di Indonesia sudah sering terjadi, tetapi tidak semua mendapat sorotan media sebesar kasus kepala babi ini.
Akal Sehat,Bandingkan Dengan Kasus Berikut:
- Juni 2024: Rico Sempurna Pasaribu, wartawan Tribrata TV, tewas dibakar bersama keluarganya. Sorotan media nasional terhadap kasus ini jauh lebih minim dibandingkan kasus kepala babi.
- Juni 2021: Mara Salem Harahap, pemimpin redaksi media lokal di Sumatera Utara, tewas ditembak karena memberitakan kasus judi dan narkoba.
- Juni 2018: Muhammad Yusuf, wartawan yang mengungkap kasus konflik tanah, meninggal di tahanan setelah dikriminalisasi atas pemberitaannya.
Perbedaan perlakuan media terhadap kasus-kasus ini menimbulkan pertanyaan: Apakah media nasional hanya memilih isu yang bisa dimanfaatkan untuk menyerang pemerintah, sementara kasus kekerasan yang lebih brutal terhadap wartawan justru diabaikan?
Dewan Pers: Pelindung Kebebasan Pers atau Alat Kriminalisasi?
Selain ancaman fisik, wartawan di Indonesia juga menghadapi ancaman hukum yang sering kali lebih menakutkan. Mekanisme Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers menjadi alat yang bisa membungkam jurnalis yang mengungkap kebenaran.
Kasus yang menunjukkan ketidakadilan ini antara lain:
- Muhammad Yusuf, yang ditetapkan sebagai tersangka karena medianya tidak terverifikasi oleh Dewan Pers, lalu tewas di dalam tahanan.
- Torosidu Lahia, wartawan yang mengungkap kasus korupsi seorang bupati, malah dijebloskan ke penjara setelah kasusnya diadukan ke Dewan Pers.
Namun, dalam kasus Deddy Corbuzier, yang mewawancarai mantan Menteri Kesehatan dari dalam tahanan, Dewan Pers justru membelanya. Padahal, Deddy bukan wartawan dan medianya bukan perusahaan pers yang berbadan hukum. Standar ganda seperti ini semakin memperjelas bahwa regulasi pers di Indonesia masih jauh dari adil.
Kesimpulan
Kasus teror kepala babi terhadap wartawan TEMPO memang serius, tetapi cara media nasional mengeksploitasinya menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini murni demi membela kebebasan pers, atau ada agenda politik tertentu?
Yang lebih mengkhawatirkan, ancaman terbesar terhadap kebebasan pers di Indonesia bukan hanya datang dari aksi teror, tetapi juga dari kriminalisasi hukum yang dilegalkan melalui mekanisme Dewan Pers. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kebebasan pers di Indonesia akan tetap menjadi ilusi belaka—sebuah kebebasan yang hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kepentingan politik dan akses ke media besar. ( Tim - Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar