Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


RUU TNI Dinilai Berpotensi Kembalikan Dwi Fungsi dan Militerisme, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Revisi

Minggu, 16 Maret 2025 | Minggu, Maret 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-15T17:49:48Z

 


CNEWS - Jakarta, 16 Maret 2025 – Koalisi Masyarakat Sipil sampai saat ini terus berupaya  untuk Reformasi Sektor Keamanan menegaskan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang diajukan pemerintah kepada DPR pada 11 Maret 2025. Mereka menilai revisi ini tidak mendesak dan justru berpotensi menghidupkan kembali dwi fungsi TNI serta memperkuat militerisme di ranah sipil.


Koalisi menyatakan bahwa UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 masih relevan untuk menjaga profesionalisme militer. Sebaliknya, yang lebih mendesak adalah revisi terhadap UU Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 agar prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum, sesuai prinsip kesetaraan hukum.


Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU TNI


Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti sejumlah ketentuan dalam RUU TNI yang dinilai bermasalah dan berpotensi mengancam prinsip demokrasi serta supremasi sipil:


  1. Perluasan Jabatan Sipil untuk TNI Aktif

    • RUU TNI membuka peluang bagi perwira aktif menduduki posisi di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
    • Penempatan perwira TNI di Kejaksaan Agung dianggap tidak sesuai dengan tugas pokok TNI sebagai alat pertahanan negara.
    • Koalisi juga menolak posisi Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), karena dikhawatirkan memperkuat impunitas bagi prajurit TNI yang terlibat kasus hukum.

  1. Pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

    • RUU TNI mengatur pelibatan TNI dalam pemberantasan narkotika. Koalisi menilai ini tidak tepat, karena persoalan narkotika seharusnya menjadi ranah penegakan hukum dan medis, bukan operasi militer.
    • Pendekatan militer dalam pemberantasan narkotika dinilai berisiko menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (excessive power).

  1. Penghapusan Peran DPR dalam Persetujuan OMSP

    • Saat ini, operasi militer selain perang memerlukan persetujuan DPR. Namun, RUU TNI mengusulkan agar hal tersebut cukup diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
    • Koalisi menilai kebijakan ini menghilangkan pengawasan parlemen dan berpotensi menimbulkan konflik kewenangan dengan aparat penegak hukum lainnya.

RUU TNI Dinilai Bertentangan dengan Reformasi Militer


Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa yang dibutuhkan bukanlah perluasan peran TNI dalam jabatan sipil, melainkan pembatasan. Mereka mengusulkan agar sepuluh jabatan sipil yang saat ini dapat diisi oleh TNI aktif, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU TNI, seharusnya dikurangi, bukan ditambah.


Mereka juga mengkritik pernyataan Kepala Komunikasi Presiden yang menyatakan bahwa RUU TNI tidak mengandung unsur dwi fungsi. Koalisi menilai pernyataan tersebut keliru dan tidak memahami substansi persoalan.


"Dengan berbagai catatan ini, kami menolak RUU TNI dan meminta pemerintah serta DPR untuk membatalkan revisi yang dapat menghidupkan kembali peran militer dalam ranah sipil," tegas Koalisi dalam pernyataan resminya.


Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan:


SETARA Institute, Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, HRWG, WALHI, Centra Initiative, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, ALDP, Public Virtue, ICJR, AJI Jakarta, PPMAN, BEM SI, Dejure. ( Tim - RI) 


Narahubung:

  • Ikhsan Yosarie (SETARA Institute)
  • Ardi Manto Adiputra (Imparsial)
  • Wahyudi Djafar (ELSAM)
  • Julius Ibrani (PBHI)
  • Hafidz Muhammad (Centra Initiative)
  • Usman Hamid (Amnesty International Indonesia)
  • Daniel Awigra (HRWG)
  • Teo Reffelsen (WALHI)
  • Dimas Bagus Arya (KontraS)
  • Arif Maulana (YLBHI)
  • Latifah Anum Siregar (Aliansi Demokrasi untuk Papua) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update