Oleh: Dominggus Elcid Li
Kupang – Slogan “Jokowi adalah kita” pernah menggema di dua Pemilu yang mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode. Namun, seiring waktu, apakah "kita" yang dulu didefinisikan bersama Jokowi masih ada? Ucapan selamat tinggal pada Jokowi juga menjadi perpisahan bagi konsep "kita" yang pernah lahir dalam dua dekade reformasi, sebelum tergerus oleh berbagai kepentingan keluarga yang memegang kendali republik—baik keluarga tokoh politik, agama, pengusaha, hingga jenderal.
Tragedi demi tragedi yang menandai perjalanan bangsa ini, sejak proklamasi hingga kini, mencerminkan kesalahan kolektif. Dari tragedi-tragedi yang terjadi pada 1949, 1965, hingga 2024, kesalahan ini bukan hanya milik Jokowi atau elit-elit lainnya. Sebaliknya, kita semua terlibat dalam perjalanan yang kini tampak suram dan penuh ironi.
Republik yang Hilang: Kembali ke Dinasti
Republik Indonesia dulu didirikan atas semangat persatuan dan kesetaraan. Namun, di tahun 2024, elit bangsa tampak tak mampu lagi berpikir abstrak dan mengutamakan kepentingan bersama. Orang seperti Jokowi, Luhut, atau bahkan tokoh agama seperti Haedar Nasir dan Yahya Staquf, semuanya menunjukkan kelemahan dalam menjaga prinsip egalitarianisme republik ini. Sebaliknya, mereka tampak mengarah pada politik berbasis keluarga atau dinasti, menghidupkan kembali era pewarisan kekuasaan yang semestinya sudah terkubur bersama dengan lahirnya republik.
Ucapan dari tokoh-tokoh politik seperti Bambang Pacul soal pewarisan kepemimpinan Megawati kepada Puan tak jauh beda dengan retorika dinasti yang diusung Luhut tentang Jokowi-Gibran. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar republik—bahwa kekuasaan seharusnya didistribusikan berdasarkan meritokrasi, bukan darah.
Menuju Kemunduran Kolektif
Jika kita terus menerus menyaksikan bagaimana keluarga dan dinasti mengambil alih republik, maka yang terjadi bukanlah pemerintahan demokratis, melainkan klan-klan yang semakin kuat. Republik seharusnya memberi ruang yang setara bagi semua warganya, namun kenyataannya, Indonesia kini menjadi arena pasar, di mana kepentingan pribadi dan kelompok mendominasi.
Republik ini tak hanya membutuhkan pemimpin yang memahami kepentingan bersama, tetapi juga harus memiliki kemampuan berpikir impersonal—di mana mereka tidak menempatkan diri sendiri lebih tinggi dari rakyat yang mereka pimpin. Sayangnya, elit kita gagal memenuhi harapan ini, dan kualitas kepemimpinan Indonesia terus menurun secara kolektif.
Politik Kesejahteraan: Jalan Tengah yang Terlupakan
Sebagai sebuah organisasi modern, republik tidak boleh dipimpin seperti perusahaan keluarga. Pimpinan negara harus memikirkan 'kebaikan bersama', bukan hanya sekadar kepentingan pribadi atau kelompok. Ketidakmampuan memisahkan antara kekuasaan dan keluarga akan merusak struktur dasar republik ini.
Contoh yang mencolok adalah bagaimana kepemimpinan saat ini mulai menggantikan prinsip-prinsip demokrasi dengan dinasti. Jika republik ini berubah menjadi kerajaan yang diwarnai oleh kekuasaan keluarga, maka masa depan Indonesia sebagai negara yang adil dan sejahtera akan semakin suram.
Penutup: Belajar dari Sejarah
Dengan berakhirnya era Jokowi, republik ini harus memikirkan kembali arah yang akan diambil. Prabowo yang kini terpilih sebagai presiden menghadapi tugas berat untuk mengelola republik yang terdiri dari ratusan juta penduduk yang tersebar di ribuan pulau. Ini bukan soal siapa yang benar atau salah, tetapi bagaimana kita bisa kembali pada cita-cita awal republik: kebersamaan, kesetaraan, dan kebaikan bersama.
Jika republik terus berjalan dengan nalar dagang dan kepentingan keluarga, maka kita hanya akan mewarisi republik yang penuh tikus, sebagaimana candaan Gus Dur—“Republik tikus... gitu aja kok repot!”
Penulis adalah sosiolog dan peneliti di IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) yang berbasis di Kupang, NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar