Sebuah Seruan Moral dan Politik untuk Menegakkan Kebenaran
Oleh: Wilson Lalengke
CNEWS, Jakarta — Kepalsuan adalah produk dari kebohongan. Ia muncul dari niat menutupi kebenaran, tumbuh dalam ketidakjujuran, dan pada akhirnya menjadi perisai bagi pelanggaran moral dan hukum. Kebohongan bukan sekadar ungkapan menyesatkan, melainkan fondasi rapuh yang dapat meruntuhkan tatanan sosial, politik, serta nilai-nilai bangsa. Ketika kebohongan dibiarkan, ia menjelma menjadi akar kesengsaraan.
Kasus dugaan ijazah palsu yang menyeret seorang tokoh publik bukan persoalan administratif biasa. Ia berkaitan langsung dengan integritas pribadi, moralitas pemimpin, serta kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Bangsa yang membiarkan kebohongan tumbuh tidak akan pernah menemukan jalan menuju keadilan.
Kebohongan Sebagai Tirai Berduri
Kebohongan bekerja seperti tirai berduri: ia menutupi kebenaran sekaligus melukai siapa pun yang mencoba menyingkapnya. Masyarakat yang terbiasa dengan kebohongan akan kehilangan kepekaan terhadap kebenaran. Ketika kebenaran tidak lagi dihargai, ketidakadilan tumbuh subur. Dan ketika keadilan mati, kehancuran bangsa hanya tinggal menunggu waktu.
Dugaan ijazah palsu ini adalah contoh nyata bagaimana kebohongan dapat menutup ruang diskusi yang sehat. Ia memecah masyarakat, menciptakan polarisasi, dan merusak kepercayaan. Lebih buruk lagi, banyak pihak memilih diam atau membela tanpa dasar, padahal diam adalah bagian dari masalah.
Mengapa Kasus Ini Wajib Dituntaskan?
1. Menyangkut Integritas Pejabat Publik
Pemimpin wajib menjadi teladan dalam kejujuran. Jika ijazah—sebagai dasar legitimasi pendidikan—ternyata palsu, maka seluruh legitimasi moral dalam setiap kebijakannya runtuh. Rakyat berhak mengetahui apakah orang yang diberi mandat kekuasaan benar-benar layak secara akademik dan etik.
2. Menjadi Ujian bagi Institusi Pendidikan dan Penegakan Hukum
Pembiaran kasus ini akan mencoreng wajah dunia pendidikan dan memperlihatkan kelemahan aparat penegak hukum. Jika dugaan ini tidak diproses, publik akan percaya bahwa hukum dapat dibeli dan sistem pendidikan mudah dimanipulasi.
Kasus ini adalah ujian terbuka bagi kredibilitas negara: apakah hukum berlaku untuk semua, atau hanya untuk rakyat kecil?
3. Menentukan Arah Moral dan Masa Depan Bangsa
Bangsa yang membiarkan kebohongan menjadi budaya akan kehilangan kompas moral. Generasi muda akan belajar bahwa jalan pintas lebih dihargai daripada kerja keras. Mereka akan percaya bahwa kebenaran bisa ditawar dan integritas bisa dipalsukan. Pada titik itu, masa depan bangsa menjadi taruhan.
Pertarungan Abadi: Kebohongan vs Kebenaran
Kebohongan menyebar cepat, menutupi ruang publik dan menciptakan ilusi kebenaran. Namun sejarah membuktikan bahwa secepat apa pun kebohongan berlari, kebenaran pada akhirnya akan menyusul. Masalahnya: sering kali kebenaran datang ketika kerusakan sudah terlalu besar.
Karena itu, kebenaran tidak boleh ditunda. Kebohongan harus dihentikan sebelum menjadi budaya. Penyelesaian kasus dugaan ijazah palsu ini menjadi momentum moral bagi bangsa untuk menentukan di pihak mana kita berdiri.
Tanggung Jawab Bersama
Menuntaskan kasus ini bukan semata tugas penegak hukum. Ini adalah tanggung jawab semua pihak:
- Rakyat harus berani menuntut transparansi.
- Media harus konsisten mengungkap fakta.
- Akademisi harus bersuara tanpa takut.
- Institusi negara wajib menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Diam berarti membiarkan kebohongan tumbuh. Diam berarti membiarkan keadilan mati.
Penutup
Kepalsuan adalah buah kebohongan. Kebohongan adalah perisai kejahatan. Dan kejahatan adalah akar penderitaan. Tidak ada bangsa yang dapat bertahan di atas landasan kebohongan.
Kasus dugaan ijazah palsu ini bukan sekadar urusan individu—ia adalah cermin moral bangsa.
Apakah kita memilih menegakkan kebenaran, ataukah kita rela tenggelam dalam budaya kepalsuan?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan Indonesia.
Sebab hanya dengan kebenaran, keadilan bisa hidup.
Dan hanya dengan keadilan, sebuah bangsa dapat bertahan.
Penulis adalah Petisioner Hak Asasi Manusia pada the 80th Petitioners Hearing, Fourth Committee of the United Nations, New York City, Oktober 2025. ( Red)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar