Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan Natal

Iklan Natal

Kepemimpinan dalam Bayang Inferiority Complex: Kritik Keras atas Respons Negara terhadap Bencana Sumatera

Kamis, 18 Desember 2025 | Kamis, Desember 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-18T03:59:17Z
Oleh: Wilson Lalengke

CNEWS, JAKARTA — Bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera telah meninggalkan luka kemanusiaan yang sangat dalam. Ribuan warga dilaporkan meninggal dunia dan hilang, permukiman hancur tersapu arus, keluarga tercerai-berai, serta mata pencaharian lenyap dalam hitungan jam. Di tengah situasi genting itu, satu harapan utama rakyat mengemuka: kehadiran negara yang cepat, tegas, dan berempati.


Namun, bagi banyak kalangan, harapan tersebut justru berubah menjadi kekecewaan mendalam.


Sejak hari-hari awal bencana, kritik bermunculan dari berbagai elemen masyarakat. Pemerintah pusat dinilai lamban, minim sense of urgency, dan gagal menunjukkan kepemimpinan krisis yang seharusnya hadir ketika rakyat berada dalam situasi hidup dan mati. Skala kehancuran yang masif seolah tidak cukup menggugah langkah cepat dan terkoordinasi.


Di berbagai lokasi terdampak, korban terjebak di wilayah terisolasi tanpa bantuan memadai. Relawan lokal dan masyarakat sipil bekerja tanpa kenal lelah dengan sumber daya terbatas, sementara publik bertanya dengan nada getir: di mana negara? Mengapa koordinasi antarlembaga terkesan kacau? Mengapa keputusan strategis justru tertunda di saat nyawa manusia dipertaruhkan?


Tekanan publik kian menguat ketika organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh kemanusiaan mendesak pemerintah menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Penetapan status tersebut bukan sekadar simbol, melainkan pintu masuk bagi mobilisasi anggaran besar, percepatan logistik, serta koordinasi lintas sektor yang lebih efektif. Namun desakan itu tak kunjung direspons. Pemerintah memilih bertahan pada sikapnya, memicu persepsi bahwa skala penderitaan rakyat tidak sepenuhnya diakui.


Kekecewaan publik mencapai puncaknya saat sejumlah negara sahabat—di antaranya Malaysia, China, dan Rusia—menyatakan kesiapan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Dalam situasi darurat, solidaritas internasional lazim menjadi penyelamat. Namun kebijakan pemerintah justru membatasi masuknya bantuan asing. Banyak pengamat menilai langkah ini kontraproduktif, bahkan berisiko memperlambat penyelamatan korban yang sedang berjuang antara hidup dan mati.


Alih-alih kepastian dan ketegasan, yang tampak justru kebingungan dalam manajemen disaster response dan recovery. Koordinasi antarlembaga tidak sinkron, distribusi bantuan tersendat, dan informasi resmi kerap tidak jelas. Kekacauan ini memperpanjang penderitaan warga yang telah kehilangan segalanya.


Tak mengherankan bila gelombang kritik meluas. Di media sosial, warga menyuarakan kekecewaan secara terbuka. Di luar negeri, media dan warganet internasional ikut mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia yang dinilai tidak responsif terhadap tragedi kemanusiaan berskala besar. Kritik itu tidak semata soal kebijakan, tetapi juga soal empati: masihkah nurani kemanusiaan menjadi fondasi pemerintahan ini?


Sejumlah pengamat menilai sikap keras kepala pemerintah mencerminkan pola kepemimpinan yang lebih mementingkan citra dan ego kekuasaan dibanding keselamatan rakyat. Bahkan, ada yang mengaitkannya dengan latar belakang militer kepala negara yang dianggap cenderung memandang krisis melalui lensa kontrol dan superioritas, bukan kemanusiaan dan kepekaan sosial.


Di ruang publik, muncul pula analisis psikologis yang mencoba membaca pola pengambilan keputusan tersebut. Beberapa kalangan merujuk pada konsep inferiority complex Alfred Adler—kondisi psikologis di mana perasaan tidak aman atau inferior dikompensasi dengan pencitraan kekuatan dan ketegasan berlebihan. Tentu, ini bukan diagnosis medis, melainkan tafsir publik atas perilaku politik yang dinilai abai terhadap penderitaan rakyat.


Namun persepsi itu tumbuh bukan tanpa sebab. Ia berakar dari lambannya respons, minimnya empati, dan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada korban.


Pada akhirnya, bencana Sumatera bukan hanya ujian bagi ketangguhan masyarakat, tetapi juga ujian serius bagi kepemimpinan nasional. Dalam tragedi kemanusiaan, rakyat membutuhkan pemimpin yang hadir, mendengar, dan bertindak cepat—bukan pemimpin yang terjebak dalam ego, simbolisme, dan pencitraan kekuasaan.

.

Respons negara terhadap bencana ini akan dikenang dalam sejarah. Bukan hanya karena skala kehancurannya, tetapi karena bagaimana negara memilih untuk hadir—atau tidak hadir—secara utuh, bijak, dan manusiawi ketika rakyatnya sangat membutuhkan.


Catatan Penulis:
Wilson Lalengke adalah petisioner HAM pada Komite Keempat PBB (Oktober 2025) dan alumni PPRA-48 Lemhannas RI Tahun 2012. ( Red/RI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update