Di tenda pengungsian, pakaian tidak pernah benar-benar kering. Anak-anak bertanya lirih, “Kapan rumah kita kembali?” Ini bukan bencana musiman. Ini tragedi kemanusiaan yang memaksa bangsa ini bercermin.
Para ahli sejak lama telah memberi peringatan: data tidak pernah bohong. Apa yang terjadi di Sumut–Sumbar–Aceh adalah bagian dari pola panjang kerusakan ekologis yang kita abaikan selama puluhan tahun. Bila paradigma pembangunan tidak berubah, yakinlah—ini bukan yang terakhir.
Pola Kerusakan yang Konsisten, Bukan Kebetulan
Sejak Orde Baru hingga kini, pembangunan nasional terlalu lama bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Bukan pilihan yang salah, tetapi cara kita mengeksekusinya yang mengabaikan batas kemampuan alam.
Data WALHI menampilkan gambaran telanjang:
- Era Soeharto: aktivitas ekstraktif mencapai 78,6 juta ha (logging, HPH, kebun kayu, tambang, sawit).
- Era SBY: total izin dan ekspansi ekstraktif 55 juta ha, dengan 21,9 juta ha izin baru—terbesar pascareformasi.
- Era Jokowi: tercatat 7,9 juta ha kegiatan ekstraktif dengan 1,48 juta ha izin baru.
Era Habibie, Gus Dur, dan Megawati memang berumur pendek, namun tetap bagian dari mosaik panjang deforestasi kita.
Pesannya jelas: dalam lebih dari 50 tahun, hutan kita ditebus dengan pembangunan. Dan setiap hektare yang hilang menimbulkan tagihan ekologis yang kini menimpa generasi yang tidak ikut merusaknya.
Pemanasan Global Bukan Wacana—Ini Ancaman Nyata
BMKG mencatat kenaikan suhu Indonesia sekitar 0,8°C sejak 1981. IPCC menempatkan Asia Tenggara dalam zona pemanasan 0,14–0,20°C per dekade.
Kenaikan suhu ini hadir dalam bentuk:
- Pola musim yang tidak menentu
- Gelombang panas lebih panjang
- Curah hujan ekstrem meningkat 30–40%
- Bencana hidrometeorologi yang kini mengancam 135 juta warga (data Bappenas–BNPB)
Lebih dari separuh warga Indonesia kini tinggal di atas garis bahaya. Ini alarm keras, bukan statistik.
Deforestasi: Luka yang Masih Menganga
KLHK dan GFW mencatat Indonesia kehilangan 23,7 juta ha hutan primer dan sekunder pada 1990–2015.
- 2011: tahun terburuk — 918.678 ha hilang.
- 2015: kebakaran besar melalap 2,6 juta ha.
- 2016–2021: menurun, namun tetap 300.000–480.000 ha/tahun.
- 2022–2025: kembali naik akibat tambang nikel, perkebunan monokultur, dan proyek infrastruktur.
Penelitian CIFOR, FAO, dan Hewlett & Hibbert membuktikan:
hutan sehat mampu mengurangi limpasan air 20–50%, sedangkan hutan rusak hanya 5–20%.
Itulah kenapa banjir bandang dan longsor semakin destruktif.
Alam tidak sedang murka. Ia hanya merespons.
Bangsa Ini Sedang Membayar Utang Ekologis
Kita bukan hanya kehilangan pohon dan sungai, tetapi kehilangan penyangga kehidupan. Sungai melebar, DAS melemah, tanah kehilangan daya serap, dan suhu lokal meningkat.
Bencana yang datang bertubi-tubi adalah tagihan dari kelalaian masa lalu. Dan tagihan itu jatuh ke generasi yang tidak pernah ikut menandatangani kontraknya.
Green Democracy: Kompas Moral Abad Perubahan Iklim
Green Democracy adalah paradigma baru: demokrasi yang tidak hanya mendengar suara rakyat, tetapi juga suara bumi. Keputusan pembangunan harus menyeimbangkan ekonomi, ekologi, dan etika generasi mendatang.
Hutan yang ditebang bukan sekadar hilangnya pohon, tetapi hilangnya masa depan. Kita mewarisi bumi dari leluhur, tetapi meminjamnya dari cucu-cucu kita. Kita tidak berhak mengembalikannya dalam keadaan rusak.
Green Democracy adalah ikhtiar untuk memastikan Indonesia tetap layak dihuni 30–50 tahun ke depan.
Tujuh Agenda Nasional Menghentikan Siklus Bencana
- Integrasi BNPB–BMKG–Basarnas menjadi sistem tangguh setara FEMA (AS).
- Audit nasional seluruh izin ekstraktif sejak Orde Baru untuk transparansi ekologis.
- Moratorium izin baru di kawasan rawan ekologis di Sumatera, Kalimantan, Papua.
- Pembangunan Peta Risiko Ekologis Nasional berbasis satelit dan AI.
- Green Tax Incentive bagi industri rendah emisi dan patuh ESG.
- Rehabilitasi 3 juta ha hutan dalam 5–10 tahun sebagai gerakan nasional.
- Menjadikan Green Democracy sebagai etika kepemimpinan, prinsip pembangunan, dan bahasa politik baru Indonesia.
Inilah cara Indonesia naik kelas: dari negara yang memadamkan bencana menjadi negara yang mencegah dan melindungi peradaban Nusantara.
Jangan Biarkan Sejarah Menghukum Kita
Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam era krisis iklim global. Kita harus hadir sebagai pemimpin—membangun sekaligus menyelamatkan bumi yang menjadi rumah kita bersama.
Karena pada akhirnya:
hukum bisa direkayasa, tetapi alam tak pernah bohong.
Dan sejarah tidak boleh dibiarkan berulang.
Green Democracy: People. Planet. Policy.
( RI/RED)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar