CNEWS, PADANG, SUMBAR — Laju deforestasi Indonesia kembali berada di titik mengkhawatirkan. Dalam rentang 73 tahun, luas hutan nasional menyusut secara masif dari sekitar 193 juta hektare (1950) menjadi hanya ±125 juta hektare pada 2023. Artinya, Indonesia telah kehilangan sekitar 68 juta hektare hutan, atau hampir 1 juta hektare per tahun—angka yang menegaskan kegagalan sistemik dalam tata kelola kehutanan.
Penyusutan ini bukan sekadar dampak alamiah, melainkan akumulasi kebijakan dan praktik eksploitatif: penghilangan status kawasan hutan, penebangan legal dan ilegal, alih fungsi lahan non-kehutanan, kebakaran hutan, perambahan, ekspansi perkebunan dan pertambangan, transmigrasi, hingga bencana ekologis yang diperparah oleh lemahnya pengawasan negara.
TNKS: Kawasan Konservasi Ikonik yang Terus Terkikis
Kondisi paling ironis terlihat di kawasan konservasi strategis seperti Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)—salah satu benteng terakhir hutan hujan tropis Sumatra.
- 1982: ±1,4 juta hektare
- 2023: ±1,375 juta hektare
Dalam 41 tahun, TNKS kehilangan sekitar 25 ribu hektare, atau rata-rata ±609 hektare per tahun. Angka ini memperlihatkan bahwa bahkan kawasan berstatus taman nasional pun tidak steril dari perambahan, pembalakan, konflik lahan, dan pembiaran struktural.
Padahal TNKS adalah habitat kunci harimau Sumatra, gajah, badak, serta penyangga hidrologis lintas provinsi. Setiap hektare yang hilang berarti kerusakan permanen pada sistem ekologis yang tak tergantikan.
Ancaman Baru: Kebijakan Pangan, Energi, dan Tambang
Ancaman deforestasi berpotensi melonjak tajam menyusul wacana pemerintah menggarap hingga 20 juta hektare hutan untuk program swasembada pangan, energi terbarukan, dan air. Di Sumatera Barat, program Perhutanan Sosial yang menargetkan ±50 ribu hektare kawasan hutan untuk dimasuki aktivitas penduduk juga memicu kekhawatiran serius, terutama jika pengawasan dan batas ekologis diabaikan.
Lebih jauh, kebijakan membuka akses pertambangan Minerba bagi Ormas Keagamaan dan PTN-BH dinilai berisiko mempercepat kerusakan hutan, terutama di wilayah lindung dan penyangga ekosistem, jika tidak dikawal secara ketat dan transparan.
Hutan Lindung Sumbar Tergerus, Negara Dinilai Abai
Berdasarkan data 2023, luas hutan lindung di Sumatera Barat mencapai 773.101 hektare, yang secara administratif berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar. Kawasan ini seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan ekosistem.
Namun realitas di lapangan berkata lain. Aktivitas tambang emas ilegal, pembalakan liar, serta bisnis ekstraktif skala besar terus menggerus kawasan hutan. Dalam periode 2011–2021, Sumatera Barat kehilangan hutan seluas 1.175,7 km²—angka yang mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan minimnya efek jera.
Padahal, PP Nomor 104 Tahun 2015 mensyaratkan setiap pelepasan kawasan hutan lindung harus disertai penggantian fungsi ekologis melalui reboisasi. Fakta di lapangan menunjukkan, kewajiban ini sering hanya berhenti di atas kertas.
Benteng Terakhir yang Terancam Runtuh
Hutan lindung strategis seperti Taman Raya Bung Hatta (±70 ribu hektare) dan kawasan hutan lindung di berbagai kabupaten/kota di Sumbar memiliki fungsi vital sebagai penyangga kehidupan, pengatur tata air, pengendali bencana, dan pelindung keanekaragaman hayati.
Jika degradasi ini terus dibiarkan, Sumatera Barat bukan hanya menghadapi krisis lingkungan, tetapi juga krisis sosial, ekonomi, dan bencana ekologis berlapis—banjir, longsor, konflik lahan, hingga hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat dan lokal.
Peringatan Keras bagi Negara
Deforestasi bukan sekadar isu lingkungan, melainkan indikator kegagalan tata kelola sumber daya alam. Tanpa pengawasan ketat, transparansi kebijakan, penegakan hukum yang tegas, serta keberpihakan pada kelestarian jangka panjang, hutan Indonesia akan terus menyusut—dan kerusakan itu tidak dapat dipulihkan.
Kesadaran publik dan tindakan nyata semua pihak menjadi mendesak. Jika tidak, generasi mendatang hanya akan mewarisi catatan sejarah tentang hutan yang pernah ada.
Sumber: Aktivis Hutan dan Lingkungan Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat, MJ ( RI/RED)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar