Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Laksamana Sukardi Soroti Kriminalisasi Kebijakan Publik dan Keputusan Bisnis: “Saatnya Negara Menghentikan Ke-BIJAK-an Kriminal”

Kamis, 27 November 2025 | Kamis, November 27, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-27T12:15:13Z


Abolisi untuk Tom Lembong dan Rehabilitasi untuk Dirut ASDP Dinilai Jadi Momentum Pembenahan Penegakan Hukum Ekonomi


CNEWS, Jakarta — Mantan Menteri BUMN dan tokoh nasional Laksamana Sukardi menyampaikan pandangan keras mengenai praktik kriminalisasi kebijakan publik dan keputusan bisnis yang terus berulang dalam penegakan hukum di Indonesia. Melalui tulisan berjudul “Ke-BIJAK-an Kriminal?”, ia menilai pemberian abolisi kepada Menteri Perdagangan Tom Lembong serta rehabilitasi kepada Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi oleh Presiden Prabowo Subianto harus dijadikan pelajaran penting untuk memperbaiki tata kelola hukum dan iklim usaha nasional.


Menurut Laksamana, kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa penegak hukum kerap menyamakan keputusan kebijakan—baik kebijakan publik maupun kebijakan korporasi—sebagai tindakan pidana, padahal secara prinsip hukum, keduanya berada di ranah non-pidana kecuali terdapat unsur penipuan, korupsi, atau keuntungan pribadi yang melawan hukum.


“Kebijakan Publik Tidak Boleh Dipidana”


Dalam analisisnya, Laksamana menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan apabila terdapat actus reus (perbuatan terlarang) dan mens rea (niat jahat). Keputusan kebijakan, meskipun dianggap keliru atau merugikan, tidak serta merta memenuhi unsur-unsur tersebut.


“Selama tidak terdapat niat koruptif, keuntungan pribadi, atau kesengajaan mencelakakan, keputusan kebijakan tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana,” tegas Laksamana.

 

Ia memperingatkan bahwa kriminalisasi kebijakan dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan antar-lembaga negara. Ketika aparat penegak hukum dapat “menghakimi” kebijakan publik, maka aparat tersebut secara tidak langsung memegang veto atas diskresi eksekutif.


Model penegakan hukum seperti itu, kata Laksamana, membuka celah kriminalisasi politik, pelemahan birokrasi, hingga penggunaan proses pidana sebagai alat balas dendam.


Business Judgment Tidak Sama dengan Tindak Pidana


Laksamana juga menyoroti kasus kriminalisasi keputusan bisnis yang menimpa sejumlah pimpinan BUMN dan korporasi di Indonesia. Ia menyebut bahwa dunia usaha memiliki prinsip universal yang disebut business judgment rule, yakni doktrin yang melindungi direksi, komisaris, dan manajemen dari jeratan hukum hanya karena keputusan bisnis berujung kerugian.


“Kerugian usaha tidak otomatis menunjukkan adanya tindak pidana. Risiko adalah bagian inheren dari bisnis. Tanpa membedakan antara kerugian normal dan perbuatan kriminal, korporasi tidak dapat berfungsi,” ujarnya.

 

Menurutnya, kriminalisasi atas keputusan bisnis adalah bentuk hindsight bias—menilai tindakan masa lalu dengan ukuran kondisi masa kini—yang justru merusak iklim investasi dan mematikan keberanian berinovasi.


Fenomena Baru: Jaksa Menghitung Kerugian Bisnis


Laksamana juga mengkritik keras tren aparat penegak hukum yang menghitung sendiri “kerugian negara” atau “kerugian perusahaan” dari transaksi komersial sah tanpa menggunakan standar keuangan yang benar.


Ia menilai praktik ini bukan sekadar keliru, tetapi berbahaya bagi perekonomian nasional.

 

“Kerugian komersial adalah domain akuntan, auditor, dan penilai independen—bukan jaksa. Ketika jaksa menentukan kerugian tanpa disiplin standar finansial, itu membuka pintu kriminalisasi yang sewenang-wenang dan politis,” tulisnya.

 

Laksamana menegaskan bahwa jaksa berwenang menuntut jika ada fraud, korupsi, atau manipulasi, tetapi tidak boleh “menciptakan” tindak pidana melalui tafsir kerugian yang subjektif.


Dampak Sistemik: Dunia Usaha Terancam Berjalan Dalam Ketakutan


Menurut Laksamana, negara yang membiarkan kriminalisasi kebijakan dan keputusan bisnis akan mengalami:


  • ketakutan para pengambil keputusan,
  • pemimpin korporasi yang memilih “defensive governance”,
  • stagnasi inovasi,
  • menurunnya minat investasi, dan
  • terganggunya pertumbuhan ekonomi nasional.

 

“Yang membuat bisnis berbahaya bukan lagi pasar, melainkan penegak hukum,” tandasnya.

 

Seruan kepada Presiden, Mahkamah Agung, dan Penegak Hukum


Laksamana Sukardi menutup tulisannya dengan desakan agar Presiden Prabowo, aparat penegak hukum, dan Mahkamah Agung menyinkronkan arah kebijakan penegakan hukum dalam ranah bisnis dan ekonomi.


Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai jika kebijakan publik dan pertimbangan bisnis dipisahkan secara tegas dari ranah pidana.


“Pemberantasan korupsi harus fokus mengadili perilaku yang buruk—bukan kebijakan publik dan judgement bisnis,” tegasnya.

 

Tulisan analitis Laksamana Sukardi ini dirilis dari Kebayoran Baru, Jakarta, pada 27 November 2025, sebagai refleksi kritis terhadap arah penegakan hukum Indonesia dan masa depan iklim usaha nasional. ( RI) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update