![]() |
| Poto: Padli Zon dari Google |
Soeharto, Gus Dur, dan Marsinah: Dua Zaman, Satu Panggung Sejarah
CNEWS, Jakarta - Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Republik Indonesia, Fadli Zon, menegaskan bahwa seluruh nama tokoh yang diusulkan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025 telah memenuhi seluruh kriteria formal dan substantif sebagaimana diatur dalam ketentuan negara.
Pernyataan ini sekaligus menanggapi polemik publik yang mencuat setelah munculnya nama Presiden ke-2 RI Soeharto dalam daftar calon penerima gelar pahlawan nasional.
“Semua yang diusulkan dari Kementerian Sosial itu sudah memenuhi syarat secara kriteria. Namun tentu masih akan dilakukan pembahasan mendalam di Dewan GTK sebelum diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto,” ujar Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
40 Tokoh Diusulkan: Dari Soeharto, Gus Dur, hingga Marsinah
Dalam daftar resmi Kemensos, terdapat 40 nama tokoh nasional yang diusulkan tahun ini. Mereka berasal dari berbagai bidang — mulai dari politik, militer, agama, pendidikan, hingga pergerakan rakyat.
Di antara nama-nama itu, yang paling menyita perhatian publik adalah tiga tokoh lintas zaman:
- Jenderal Besar H.M. Soeharto, Presiden RI ke-2 (1967–1998);
- KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI ke-4 dan tokoh pluralisme;
- Marsinah, aktivis buruh perempuan yang tewas secara tragis pada 1993 karena memperjuangkan hak-hak pekerja.
Usulan resmi tersebut disampaikan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) kepada Dewan GTK pada Selasa (21/10/2025). Gus Ipul menjelaskan bahwa nama-nama itu merupakan hasil penelusuran dan pembahasan berlapis selama lima hingga enam tahun terakhir.
“Ada yang memenuhi syarat sejak lama, ada pula yang baru ditetapkan tahun ini. Termasuk Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Marsinah. Semuanya melalui verifikasi akademis, historis, dan moral,” ungkap Gus Ipul.
Proses Seleksi yang Panjang dan Berlapis
Fadli Zon menjelaskan, proses penentuan calon pahlawan nasional tidak bisa dilakukan secara instan.
Tahapan seleksi dimulai dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota, diteruskan ke tim provinsi, lalu diproses oleh Tim Peneliti, Pengkaji, dan Penilai Gelar Pahlawan (TP2GP) di Kementerian Sosial.
Setelah itu, barulah Dewan GTK melakukan seleksi final dengan melibatkan akademisi, sejarawan, dan berbagai lembaga publik melalui diskusi, seminar, serta konsultasi nasional.
“Kami tidak ingin mendahului Presiden. Dewan GTK bekerja berdasarkan data, dokumen, dan rekam jejak jasa seseorang terhadap bangsa. Semua dinilai objektif dan proporsional,” tegas Fadli.
Soeharto: Pembangun Bangsa atau Otoritarian?
Usulan nama Soeharto menjadi pahlawan nasional memantik reaksi keras dari berbagai pihak.
Pendukung Soeharto menilai, selama 32 tahun berkuasa, ia berhasil menegakkan stabilitas nasional, membangun infrastruktur, dan menekan inflasi, serta menempatkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia Tenggara.
Namun, kelompok penentang mengingatkan pada pelanggaran HAM berat, represi politik, dan pembungkaman kebebasan pers serta demokrasi selama Orde Baru.
Bagi sebagian kalangan, pengusulan Soeharto bukan sekadar penilaian atas individu, melainkan uji terhadap memori kolektif bangsa: apakah Indonesia siap memaafkan masa lalunya, atau justru melanggengkan sejarah yang belum tuntas.
Marsinah: Simbol Perlawanan dan Keadilan Sosial
Berbeda dengan Soeharto, nama Marsinah mencerminkan wajah rakyat kecil yang melawan ketidakadilan. Aktivis buruh perempuan ini ditemukan tewas pada Mei 1993, setelah memperjuangkan hak upah layak bagi rekan-rekannya di PT Catur Putra Surya, Sidoarjo.
Kasus kematiannya menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan militeristik dan eksploitasi buruh pada masa Orde Baru.
Jika Marsinah ditetapkan sebagai pahlawan nasional, itu akan menjadi langkah bersejarah — pengakuan negara atas korban kekerasan politik dan ekonomi di era pembangunan yang dulu diagungkan Soeharto.
Gus Dur: Jembatan Rekonsiliasi Bangsa
Sementara itu, nama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dinilai paling representatif sebagai tokoh rekonsiliasi.
Gus Dur dikenal sebagai presiden yang berani membuka ruang demokrasi, menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan meminta maaf secara terbuka atas tragedi kemanusiaan 1965–1966.
Ia juga dikenal sebagai figur spiritual yang mempersatukan berbagai kelompok agama dan etnis di Indonesia.
Usulan gelar pahlawan bagi Gus Dur semakin mempertegas arah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membangun rekonsiliasi sejarah dan persatuan nasional.
Prabowo dan Agenda Rekonsiliasi Nasional
Dalam konteks politik saat ini, langkah mengusulkan Soeharto, Marsinah, dan Gus Dur sekaligus dinilai sebagai strategi simbolik pemerintahan Prabowo Subianto.
Ketiganya mewakili tiga babak sejarah bangsa:
- Soeharto, simbol kekuasaan stabil dan pembangunan;
- Marsinah, simbol perlawanan rakyat dan keadilan sosial;
- Gus Dur, simbol demokrasi dan rekonsiliasi kemanusiaan.
Jika ketiganya resmi dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2025, hal itu akan menandai babak baru sejarah Indonesia:
sebuah rekonsiliasi antara kekuasaan, rakyat, dan kemanusiaan.
Diumumkan pada Hari Pahlawan
Fadli Zon memastikan, pengumuman resmi penerima gelar pahlawan nasional akan dilakukan bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 2025.
Upacara tersebut dijadwalkan berlangsung di Istana Negara, dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, dan disiarkan secara nasional.
“Penganugerahan gelar pahlawan bukan sekadar penghormatan simbolik, tapi bentuk tanggung jawab moral negara terhadap sejarah bangsanya. Siapa pun yang ditetapkan nanti, itulah hasil dari penilaian panjang, ilmiah, dan berkeadilan,” tutup Fadli Zon. (RNC,RI. DAR)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar