Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Robert Wanma: “Pelakunya Harus Diproses Hukum, Ini Penghinaan terhadap Martabat Kami”

Minggu, 26 Oktober 2025 | Minggu, Oktober 26, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-25T21:57:14Z

Rakyat Papua Marah atas Pembakaran Mahkota Cenderawasih


CNEWS , Sorong — Kemarahan besar melanda masyarakat Papua di berbagai daerah setelah munculnya video pembakaran sejumlah Mahkota Cenderawasih oleh aparat gabungan di Merauke, Provinsi Papua Selatan. Mahkota tradisional yang menjadi simbol kehormatan dan identitas orang asli Papua itu dibakar oleh petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua bersama sejumlah personel berseragam TNI, Polri, dan ASN pada 15 Oktober 2025.


Menurut keterangan resmi, aksi itu dilakukan sebagai bagian dari penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa dilindungi, khususnya burung Cenderawasih. Namun bagi masyarakat Papua, tindakan itu dianggap tidak beradab, melukai batin, dan menistakan simbol budaya sakral.


Kemarahan dan Kekecewaan Masyarakat Papua


Salah satu suara paling lantang datang dari Robert George Julius Wanma, anggota DPR Papua Barat Daya yang juga tokoh adat asal Raja Ampat. Ia mengecam keras tindakan aparat yang dinilainya telah merendahkan martabat dan harga diri orang Papua di mata bangsa sendiri.


“Pemerintah Indonesia selama ini memperlakukan kami orang Papua seolah-olah tidak berharga di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Robert dengan nada getir dalam pernyataan publiknya, Sabtu (25/10/2025).

 

Robert menilai pembakaran Mahkota Cenderawasih merupakan tindakan simbolik yang mencerminkan kolonialisasi kultural dan penghinaan terhadap eksistensi Orang Asli Papua (OAP).


“Mereka telah merampas hutan kami, tanah kami, kekayaan alam kami—dan sekarang mereka menginjak-injak kehormatan kami orang Papua dengan membakar lambang identitas kami,” tegasnya.

 

Makna Sakral Mahkota Cenderawasih


Mahkota yang terbuat dari bulu burung Cenderawasih bukan sekadar atribut dekoratif. Dalam tradisi Papua, mahkota ini memiliki makna spiritual, simbol kepemimpinan, dan hubungan kosmis dengan leluhur dan alam.


Bagi banyak suku di Tanah Papua, burung Cenderawasih disebut sebagai Manuk Dewata—burung surga yang menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Pemakai mahkota ini biasanya adalah kepala suku, pemimpin adat, atau penari dalam upacara sakral.


Karena itu, pembakaran mahkota dianggap sebagai penodaan nilai spiritual, penghinaan budaya, sekaligus pelecehan terhadap eksistensi orang Papua sebagai bangsa yang beradat dan bermartabat.


Tuntutan Hukum dan Pertanggungjawaban


Robert Wanma meminta Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, agar turun tangan langsung dan memastikan penegakan hukum atas kasus ini.


“Semua pelaku yang terlibat, baik dari unsur BBKSDA, TNI, Polri, maupun ASN, harus dipecat dan diproses hukum tanpa pandang bulu,” tegasnya.

 

Seruan serupa disampaikan oleh Dewan Adat Papua, tokoh gereja, dan aktivis hak asasi manusia. Mereka menilai pembakaran mahkota bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan tindakan diskriminatif yang dapat memicu luka sosial baru di Papua.


“Ini bukan sekadar bulu burung Cenderawasih. Ini tentang jiwa kami, harga diri kami, dan tempat kami di negara ini,” ujar seorang tetua adat dari Boven Digoel yang menolak disebut namanya.

 

Reaksi Publik dan Ketegangan Sosial


Aksi pembakaran tersebut telah memicu gelombang protes di berbagai kota di Tanah Papua, termasuk di Jayapura, Sorong, Wamena, dan Manokwari.
Masyarakat dan mahasiswa Papua yang tergabung dalam berbagai organisasi kultural menuntut agar pemerintah meminta maaf secara resmi kepada rakyat Papua.


Tokoh pemuda Papua, Sem Gombo, menilai pemerintah perlu memahami bahwa konservasi alam tidak bisa dilakukan dengan cara yang menghancurkan nilai-nilai budaya masyarakat adat.


“Kita tidak bisa melindungi alam dengan melenyapkan manusia yang hidup selaras dengannya,” tegasnya.

 

Luka Lama yang Terbuka Kembali


Banyak pengamat menilai insiden ini dapat menjadi titik balik hubungan antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kebijakan pembangunan dan konservasi di Papua seringkali dinilai gagal melibatkan masyarakat adat secara bermakna.


Kasus ini menambah daftar panjang perasaan terpinggirkan orang Papua di negara sendiri—mulai dari eksploitasi sumber daya alam, ketimpangan pembangunan, hingga marginalisasi budaya.


“Pemerintah harus peka. Ini bukan sekadar isu lingkungan atau hukum. Ini tentang bagaimana negara memperlakukan rakyatnya yang paling timur,” ujar seorang akademisi antropologi Universitas Cenderawasih.

 

Seruan Terakhir

Gelombang protes yang terus meluas menunjukkan bahwa pembakaran Mahkota Cenderawasih telah menyentuh aspek paling dalam dari identitas dan kebanggaan orang Papua.
Apakah pemerintah akan menanggapinya dengan empati dan tindakan hukum tegas, atau justru memilih diam dan menambah luka lama, akan menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintah terhadap keadilan, keberagaman, dan kemanusiaan.


📹 Video terkait dapat dilihat di sini: https://youtube.com/shorts/iJAme7OjQ9U
🕊️ (TIM )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update