Jejak perusahaan asing mencuat di balik kasus perdata PN Sorong. Publik diminta mengawal agar hukum tidak dijadikan alat perampasan hak rakyat adat.
CNEWS | Sorong, Papua Barat Daya – September 2025
Sorong kembali diguncang skandal hukum. Dalam perkara perdata No. 57/Pdt.G/2025/PN Sorong, sebuah perusahaan asing disebut-sebut tengah mengupayakan perampasan tanah adat melalui mekanisme gugatan sipil yang penuh kejanggalan.
Gugatan yang diajukan dinilai cacat sejak awal. Perusahaan tersebut tidak memiliki dokumen kepemilikan sah, mengajukan saksi palsu yang hanya pekerja proyek sementara, serta mengabaikan keharusan melibatkan pihak penting seperti Pemerintah Kota Sorong dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Aktivis menilai skema ini mirip dengan “trik Abu Nawas”—akal-akalan hukum untuk menjustifikasi kepentingan korporasi.
Jejak Perusahaan Asing
Berdasarkan penelusuran sumber lokal, perusahaan asing yang menggugat tanah adat di Sorong terafiliasi dengan korporasi berpusat di Asia Tenggara dan diduga pernah terlibat dalam bisnis reklamasi serta properti di beberapa negara berkembang.
Di Papua, perusahaan ini masuk melalui anak usaha (perusahaan cangkang) yang mendapat akses konsesi sejak awal 2010-an. Izin tersebut kini dijadikan dasar klaim untuk memperluas penguasaan tanah adat, khususnya di kawasan Tambagaram, Sorong.
“Modus lama yang berulang: pakai izin lama, pakai saksi palsu, dan pakai celah hukum untuk halalkan perampasan tanah adat,” ujar seorang pegiat masyarakat adat Sorong yang enggan disebutkan namanya.
Skema Mafia Tanah
Pola yang digunakan dalam kasus ini mencerminkan praktik mafia tanah internasional:
- Gugatan perdata rekayasa → klaim legalitas di atas tanah adat.
- Penggunaan saksi bayaran → pekerja proyek sementara diposisikan seolah mengetahui sejarah tanah.
- Penghilangan pihak penting → pemerintah daerah dan BPN tidak dimasukkan sebagai turut tergugat, sehingga memudahkan pengesahan sepihak.
- Lobi politik & bisnis → mengandalkan koneksi dengan elite lokal untuk mempertahankan izin-izin reklamasi yang sudah diterbitkan bertahun-tahun lalu.
Izin Reklamasi Bermasalah
Publik juga menyoroti kebijakan Pemkot Sorong yang sebelumnya menerbitkan izin reklamasi di kawasan Tambagaram. Setidaknya ada tiga keputusan yang kini dituntut dicabut:
- SK Wali Kota Sorong No. 188.45/122/2013 (4 November 2013)
- SK Wali Kota Sorong No. 545/158/2014 (15 Desember 2014)
- Izin Reklamasi No. 556.1/05 (26 Oktober 2016)
Izin-izin tersebut dinilai cacat hukum karena tidak melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah tanah dan pesisir. Lebih jauh, reklamasi berpotensi merusak ekosistem laut serta memutus akses mata pencaharian nelayan lokal.
Suara Perlawanan
Wilson Lalengke, salah satu tokoh yang ikut mengawal kasus ini, menegaskan bahwa tanah adat tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas.
“Tanah adat bukan barang dagangan. Ini menyangkut harga diri, sejarah, dan masa depan masyarakat Papua. Hukum tidak boleh dijadikan alat untuk merampas hak rakyat,” ujarnya.
Ia juga menyerukan agar Komisi Yudisial segera mengawasi jalannya persidangan di PN Sorong demi mencegah terjadinya manipulasi hukum.
Ancaman HAM dan Ekologis
Jika dibiarkan, kasus ini berpotensi meluas menjadi konflik sosial. Hilangnya tanah adat akan menggusur komunitas asli, menghapus identitas budaya, serta menimbulkan krisis ekologis akibat reklamasi dan alih fungsi lahan.
Pengamat menilai kasus ini bisa menjadi sorotan internasional, mengingat tanah adat dilindungi oleh Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). ( Red)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar