CNEWS, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tidak akan memberlakukan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak yang sudah berlaku pada tahun 2026. Meski kebutuhan anggaran negara meningkat signifikan, strategi pemerintah difokuskan pada optimalisasi penerimaan dan perbaikan sistem perpajakan, bukan dengan menambah beban masyarakat.
“Karena kebutuhan negara dan bangsa begitu banyak, maka pendapatan negara terus ditingkatkan tanpa ada kebijakan-kebijakan baru,” tegas Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama DPD RI, Selasa (2/9/2025), yang disiarkan secara virtual.
Menurutnya, kerap muncul anggapan bahwa upaya peningkatan penerimaan identik dengan kenaikan pajak. “Padahal pajaknya tetap sama,” ujarnya menepis isu yang berkembang.
UMKM dan Pekerja Berpendapatan Rendah Tetap Diutamakan
Sri Mulyani menegaskan keberpihakan pemerintah kepada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saat ini, UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta dibebaskan dari kewajiban PPh. Sementara omzet di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar hanya dikenakan pajak final sebesar 0,5 persen—jauh lebih rendah dibanding tarif PPh badan sebesar 22 persen.
“Ini adalah bentuk dukungan nyata kepada UMKM agar mereka bisa tumbuh lebih kuat,” jelasnya.
Selain itu, pekerja dengan penghasilan kurang dari Rp60 juta per tahun juga dibebaskan dari PPh Pasal 21. Pemerintah, lanjutnya, juga tetap memberi keringanan dan insentif pajak pada sektor-sektor strategis seperti kesehatan dan pendidikan.
Perbaikan Sistem Pajak Digital
Untuk mengejar target penerimaan 2026, pemerintah lebih menekankan pada perbaikan sistem administrasi pajak. Salah satunya melalui penyempurnaan Coretax yang selama ini kerap dikeluhkan bermasalah.
“Program-programnya adalah terus memperbaiki dan menyempurnakan Coretax, sinergi pertukaran data, dan memastikan transaksi digital mendapat perlakuan yang sama dengan transaksi non-digital,” beber Sri Mulyani, yang pernah menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Analisis: Tantangan Fiskal 2026
Meski pemerintah menutup opsi pajak baru, beban fiskal tahun 2026 diperkirakan semakin berat. Kebutuhan belanja negara melonjak seiring komitmen subsidi energi, program perlindungan sosial, serta pembangunan infrastruktur prioritas.
Beberapa catatan kritis:
- Defisit APBN – Target penerimaan pajak yang ambisius tanpa kenaikan tarif berpotensi menimbulkan celah defisit lebih lebar jika realisasi penerimaan meleset.
- Potensi Kebocoran Pajak Digital – Transaksi ekonomi digital yang terus tumbuh berisiko lolos dari pengawasan bila reformasi Coretax dan integrasi data lintas platform tidak berjalan mulus.
- Keterbatasan Basis Pajak – Dominasi sektor informal yang belum sepenuhnya terjangkau pajak tetap menjadi tantangan klasik. Tanpa ekstensifikasi serius, basis penerimaan negara akan stagnan.
- Risiko Politik dan Sosial – Tahun 2026 adalah fase awal pemerintahan pasca-Pemilu 2024. Kebijakan fiskal yang terlalu ketat bisa menimbulkan resistensi publik, sementara terlalu longgar berpotensi menambah utang.
Fiskal Tetap Berazas Gotong Royong
Sri Mulyani menegaskan, arah kebijakan fiskal Indonesia tetap mengedepankan prinsip gotong royong—negara menjaga penerimaan untuk membiayai kebutuhan bangsa, namun tetap berpihak pada kelompok masyarakat ekonomi rentan.
“Pendapatan negara tetap dijaga baik, namun pemihakan gotong royong kepada kelompok lemah tetap diberikan. Ini semuanya adalah azas gotong royong, namun kita tetap menjaga tata kelola,” tutupnya. ( Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar